Senin, 16 Mei 2016

Bahagia Di rumah Bila Dipenuhi Rasa Bersyukur




Ketika selesai nonton sebuah film yang berjudul “Room” saya jadi ingat tentang betapa tidak bahagianya saya dulu tinggal di rumah yang jauh dari kota. Sebelumnya saya akan  mengisahkan tentang film ini yaitu cerita seorang wanita yang diculik saat remaja dan dikurung selama bertahun-tahun dalam sebuah ruangan. Tragisnya ruangan yang lebih pantas disebut gudang tersebut tanpa ada jendela. Jadi hanya ada atap kaca yang tak begitu luas di atas ruangan. Oleh sang penculik, ruangan itupun dilengkapi dengan kamar mandi kecil, dapur dan tempat tidur serta sebuah lemari diruangan yang sempit tersebut. Tentu kita dapat membayangkan bagaimana kondisi psikologis wanita tersebut. Bertahun-tahun tinggal diruangan sempit dan tertutup tersebut hingga lahirlah seorang anak, hasil dari perkosaan sang penculik pada wanita itu. Pastilah kita berpikir wanita itu di dera rasa putus asa karena tidak ada jalan untuk bisa keluar ruangan. Sebab hanya penculik tersebut yang tahu kodenya agar pintu bisa terbuka. Wanita itu telah kehilangan salah satu sumber kebahagiannya yaitu kebebasannya. Belum lagi rasa bosan dan jenuh karena selalu berada di ruangan terkunci bertahun-tahun lamanya. Betapa tersiksanya dirinya. Bagi manusia normal, pastilah rasa depresi akan menimpa bahkan bisa menjadi gila bila tak kuat menanggungnya.

Jangan tanya, apakah wanita itu masih bisa merasakan bahagia? Bila kebahagiaannya ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya. Yaitu kebebasannya. Namun yang terjadi wanita tersebut masih bisa bahagia dengan bersyukur atas kelahiran bayinya meskipun bukan anak yang ia inginkan karena hasil perkosaan. Justru wanita itu jatuh cinta pada bayinya dan merasa terhibur dengan kehadirannya. Yah, baginya bayi yang lahir tersebut bisa mengobati kesepiannya dan bisa menemaninya melewati hari-harinya di ruangan yang tertutup tersebut. Setelah bayi tersebut berulang tahun yang kelima, wanita itupun merencanakan jalan kebebasan bagi anaknya agar tidak lagi hidup dalam ruangan tertutup  dan bisa melihat dunia luar yang jauh lebih indah. Akhirnya anak tersebut bisa bebas dan wanita tersebut pun akhirnya ikut dibebaskan saat anaknya berhasil mencari pertolongan. Tentu saja berkat perencanaan yang matang dan brilian dari wanita tersebut demi anaknya agar bisa hidup bebas bahagia. 



Dari cerita diatas saya memetik suatu hikmah bahwa sejatinya wanita dalam film ini masih bisa merasakan bahagia karena hatinya masih diselimuti rasa syukur dengan kehadiran bayinya. Bagaimanapun berat keadaan dan cobaan yang menimpa dirinya. Jelas wanita ini telah memiliki rasa bahagia yang matang yaitu bahagia yang tak harus dipenuhi oleh keadaan diluar dirinya apalagi oleh keinginan dirinya untuk segera bebas. Sebagaimana kita yang memliki keinginan tiada habisnya demi sebuah kata bahagia. Bagi wanita ini cukuplah dirinya sendiri yang memenuhinya dengan bersyukur karena masih ada anak yang mencintai dan dicintainya. Sungguh sesuatu yang tak mudah untuk kita lakukan untuk tetap bahagia di tengah cobaan berat dan nyaris tanpa harapan. Tapi, film ini sudah membuktikan bahwa tak ada yang abadi termasuk kehilangan kebebasan wanita tokoh flm ini. Sebagaimana sunnatulah hidup ini yang akan selalu berputar dan berganti. Adalanya diatas dan adakalanya dibawah. Adakalanya diterpa masalah dan adakalanya hidup baik-baik saja. Jadi alam sendiri telah membuktikan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini termasuk rasa sedih dan bahagia itu sendiri.
                                            indahnya pelangi sore hari di depan rumah

                                        Menangkap bulan separuh dini hari  di depan beranda rumah

Kembali ke kisah saya yang awalnya tidak bahagia tinggal di sebuah ruangan bernama rumah. Awal mula suami memberitahu akan membeli tanah di desa, saya tak setuju. Tapi karena tak ada pilihan saya pun menurut saja. Yah, tak ada pilihan karena keuangan kami memang tak cukup untuk membeli rumah di ibukota. Mau mengambil perumahan suami merasa tidak sreg. Alasannya cicilannya berlangsung cukup lama. Rumah yang didapat juga sangat kecil. Paling runah tipe 36 yang bisa sesuai kantong kita, begitu katanya. Bagi saya, biar rumah kecil asal dekat kemana-mana kan tidak masalah? Tapi pikiran saya mengenai tempat tinggal berbeda dengan suami. Baginya lebih enak membeli tanah yang cukup luas karena bisa membangun rumah yang cukup besar dibandingkan mengambil perumahan, sebab harga tanah cukup murah di desa. Apalagi kami memiliki anak yang masih kecil-kecil. Rumah yang luas dengan halaman yang lebar akan membuat ruang gerak ketiga buah hati kami cukup lega. Lagipula suami bisa pergi kerja naik kereta. Dan menurutnya untuk sampai kestasiun, bisa memilih naik motor. Dimana motornya ia titip di stasiun saat akan naik kereta api ekonomi jurusan jakarta kota.

                                                             halaman depan rumah

Setelah rumah selesai dibangun diatas tanah seluas 200 meter, kami pun segera menempatinya. Suami begitu gembira begitu juga anak-anak. Tapi saya tetap menunjukkan rasa tidak suka membayangkan tingggal di desa selamanya. Bandingkan saja. Selama ngontrak di Jakarta saya bisa pergi kemana-mana hanya dengan angkot atau bis yang ongkosnya cuma 2000 perak. Sementara semenjak tinggal di desa, harus naik ojek ke pasar dengan ongkos 20 rb sekali jalan. Alhasil, saya pun memutuskan untuk pergi belanja sekali seminggu saja mengingat uang transportnya lumayan besar bila pergi setiap hari. Disamping itu saya tak bisa lagi jalan-jalan cuci mata ke mall, sebab tinggal didaerah tak ada supermarket apalagi Mall hohoho.... Pokoknya kemana-mana serba jauh. Akibatnya saya pun jarang keluar seperti dulu, dan lebih banyak tinggal dirumah saja. Mulanya hari-hari yang saya rasakan begitu membosankan. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin saya berdebat terus dengan suami dan menuntutnya untuk segera pindah ke kota. Bisa-bisa kami bertengkar terus hingga rumah tangga tak lagi harmonis. 

                                                      Aku dan Suami Tercinta
Belum juga merasa bahagia, saya merenung saat menatap sebatang pohon di depan rumah. Pohon itu selalu tegak berdiri membahagiakan makhluk hidup disekitarnya. Lewat keteduhannya saat kita berlindung di bawah pohon rindangnya. Menghirup udara segarnya yang mengandung oksigen dari pohon hijau tersebut. Bayangkan bila saya harus membeli oksigen alangkah menderitanya. Pohon juga bersedia menyimpan cadangan air di akarnya untuk kebutuhan kita akan air agar tidak kekurangan. Yups! pohon selalu bahagia memberikan manfaatnya pada kita hingga kita pun bisa hidup bahagia. Bila pohon kita biarkan terus tumbuh dengan bahagia dengan selalu merawatnya. Sebaliknya, bila kita biarkan pohon merana dengan merusaknya dan membakarnya, otomatis hidup kita pun akan menjadi merana juga. Sebab tak ada lagi oksigen yang kita hirup yang merupakan kebutuhan utama kita, juga kekurangan air untuk aktivitas kehidupan kita. 


Dari film Room dan sebatang pohon yang bahagia, saya belajar satu hal bahwa bila diri ini bahagia, maka rasa bahagia itu juga akan berimbas pada orang-orang sekitar saya. Suami, anak-anak dan sahabat-sahabat saya. Hingga saya bisa maksimal  memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada sekitar dan orang-orang terdekat. Tak terbayangkan bila saya selalu sedih, uring-uringan dan mudah marah akibat tidak bahagia. Maka, rasa inilah yang akan tertangkap dan memasuki jiwa-jiwa manusia di sekitar saya termasuk orang-orang yang saya cintai. Namun bukan berarti saya harus menuntut diri ini selalu bahagia. Sebagaimana putra saya pernah berucap “Baim ingin selalu membuat Mama bahagia. Baim tak ingin membuat Mama bersedih seperti dulu. “ Maksudnya ketika saya mengalami depresi. Dengan hati-hati dan penuh cinta, saya pun meyakinkan putra saya bahwa sejatinya saya (Mamanya) hanyalah manusia biasa sama seperti dirinya yang bisa merasa sedih, marah dan kesal. Namun Mama akan berusaha untuk kembali bahagia, jadi tak ada yang abadi, jelas saya lagi. Putra saya pun mengangguk tanda mengerti. 
                          
                            Tulisanku Di Rubrik Buah Hati Leisure Republika Tentang Baim

Menuntut diri untuk selalu bahagia, rupanya menjebak saya ke lubang hitam bernama depresi. Memaksakan kehendak agar semuanya harus selalu okay dan sesuai harapan. Suami yang selalu setia dan bertanggung jawab. Hidup yang tak pernah kekurangan meskipun tidak terlalu wah secara materi. Tubuh yang masih diberi kesehatan tanpa adanya penyakit kronis serta mematikan seperti kanker dsb. Tidakkah semua itu cukup untuk membuat diri saya bahagia? Namun begitu mudahnya merasa depresi dan putus asa. Lalu pertanyaannya, dimana letak salahnya hidup yang telah saya jalani selama 40 tahun ini hingga tak menyadari bahwa sejatinya bahagia itu tak perlu dibeli dengan materi dan dicari setengah mati. Karena sesungguhnya ia dekat, bahkan sangat dekat yaitu di dalam hati yang bersyukur. Ternyata selama ini diri selalu luput dari rasa bersyukur saat mendapatkan anugerah dan musibah sekecil apapun itu. 

Saya pun mencatat hal-hal yang kerap menjebak saya untuk sulit bahagia sebagai koreksi diri diantaranya:

1.      Masih memendam amarah dari masa lalu
2.      Berharap ingin selalu dicintai
3.      Semuanya harus oke dan sesuai keinginan
4.      Menuntut kesempurnaan pada diri sendiri dan orang sekitar
5.      Merasa kesepian saat diabaikan
6.      Sulit mencintai diri sendiri dan orang lain
7.      Sulit mengekspresikan emosi berupa rasa sayang, dan menerima ungkapan sayang dari orang lain.
8.      Menuntut bahagia tanpa tujuan dengan sugesti bahwa saya harus selalu bahagia demi anak-anak. Sehingga ketika tidak bahagia, harus berpura-pura bahagia. Berbeda bila saya ganti sugestinya dengan kata-kata saya harus kembali bahagia demi anak-anak.
Kata selalu menggambarkan seolah-olah rasa sedih, marah dan emosi negatif lainnya tak punya tempat untuk diakui. Berbeda bila saya mau mengakui bahwa saya sedang sedih, marah dsb. Maka akan timbul kesadaran diri hingga berusaha mencari solusinya. Salah satunya bagaimana mengurangi rasa sedih, marah dsb hingga bisa kembali bahagia.

Poin yang paling penting bagaimana hati kita tetap bisa bersyukur di setiap keadaan, agar jarak dengan rasa bahagia tidak terlalu jauh hingga akhirnya kita tinggalkan. Sebagaimana sebuah kata bijak yang mengatakan bahwa Bukan kebahagiaan yang menjadikan kita bersyukur tapi bersyukurlah yang membuat kita bahagia. Jadi bahagia dirumah bila kita selalu dipenuhi rasa syukur. Dan rasa syukur itu harus saya tunjukkan lebih dulu, agar saya bisa bahagia. Karena sebagai seorang ibu dan isteri, saya adalah jantung sebuah rumah. Kalau saya tidak bahagia? Bagaimana saya bisa menularkan rasa bahagia itu pada seisi rumah? 


Andai saya selalu berkubang pada kekecewaan karena bertempat tinggal di tempat yang tidak saya harapkan yaitu jauh di pinggiran kota. Yang membuat saya jadi malas pergi ke mana mana karena jauh. Mungkin saya perlu menuliskan hal-hal bahagia yang pernah saya terima sekecil apapun itu. sehingga timbul rasa syukur di hati. Entah itu saat bisa punya waktu untuk diri sendiri atau saat mendapatkan pelukan hangat dan ciuman dari anak anak. Begitu juga dalam menikmati rasa bahagia yang datang. Bila tanpa disertai rasa syukur karena sudah diberi nikmat, maka kita pun akan terlena hingga memberi jarak pada rasa lainnya. Seolah-olah sedih dan musibah takkan mungkin menimpa kita. Intinya, syukur itulah yang akan tetap menyadarkan hati kita betapa semua rasa dalam hidup sebaiknya kita nikmati tanpa mengeluh dan lupa diri. Pertanyaannya, bagaimana saya bisa membuat orang lain termasuk keluarga bahagia? Bila saya sendiri tidak bahagia. Bagaimanapun rasa ketidak bahagiaan saya bisa menularkan ke orang lain. Satu hal yang seharusnya saya sadari, mengapa sikap-sikap diatas berhasil membuat saya tidak bahagia. Satu hal tersebut adalah kejujuran diri untuk menyadari dan mengoreksi diri.

Berbicara tentang rasa bahagia, maka hal-hal ini yang saya lakukan agar tetap bahagia dirumah bersama keluarga.

1.      Membiarkan anak-anak bebas berekspresi tanpa uring-uringan apalagi melarang mereka. Meskipun rumah berantakan sehabis dieksplorasi anak-anak, saya merasa bahagia dengan catatan sehabis bermain dibereskan bersama-sama. Misalnya si kakak yang main masak-masakan di halaman rumah



. Adiknya Lisha bermain sepeda 


dan si Abangnya mengajak teman-temannya bermain di rumah. 


2.      Menunjukkan pada anak anak minat membaca sejak dini dengan selalu membaca entah itu buku, tabloid seperti nova yang isinya beragam mulai dari resep keluarga, cerpen untuk saya belajar menulis karena saya suka menulis, sampai tips-tips seputar wanita dan rubrik konsultasi. Selain itu sering mengajak anak ke toko toko buku dan pameran buku. 


Selain menambah wawasan, buku juga bisa menjadi teman setia dikala sepi dan pengisi waktu luang yang efektif

3.      Nonton film bareng saat hari libur, jadi gak mesti ke bioskop yang jauh dan lebih banyak mengeluarkan biaya karena intinya hanya ingin menjalin kebersamaan dan keakraban.

                                             Koleksi DVD Film Di Rumah
4.      Mengajak anak-anak memilih menu dan turun bersama di dapur membantu mengolah resep masakan salah satunya yang di dapat dari tabloid nova.


5.      Mengajak anak-anak memilih warna cat rumah yang disukai. Misalnya si Kakak senang warna pink cola, 



 Lisha adiknya maunya warna ungu 

dan abangnya warna biru.


 Sementara saya memilih warna hijau yang damai dan menyejukkan.


6.      Sesekali mengajak anak-anak turun ke empang ayahnya mulai dari membantu membersihkan empang sampai menangkap ikan gurame. Seru dan bahagia saat melihat anak-anak mau turun meskipun baju kotor penuh lumpur.


Inilah cara saya agar bisa berbahagia dirumah bersama keluarga, setelah saya #berbahagiadirumah dengan penuh rasa syukur. dalam rangka memeriahkan “NOVAVERSARY” NOVAVERSARY

 
Alhamdulillah karena bahagia dirumah meskipun tinggal di desa yang jauh kemana-mana, akhirnya saya bisa menghasilkan karya berupa buku dan cerpen yg dimuat di berbagai media. salah satunya berkat adanya tabloid nova, yang menginspirasi dan tempat saya belajar menulis cerpen



Selain itu banyak hal inspiratif yang saya dapatkan lewat tetangga baru dikampung.


Pertama udaranya jelas lebih sejuk dan bersih dari daerah perkotaan, tempat saya mengontrak dulu. Masih banyaknya pepohonan hijau, membuat lingkungan sekitar tempat tinggal kami begitu sehat ditambah tak banyaknya kendaraan yang lalu lalang hingga bebas dari polusi. Apalagi Indonesia kaya dengan banyaknya tanaman, dimana apa saja yang ditanam langsung tumbuh. Dan kita bisa menemukan banyak tanaman dikampung. Mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, rotan dan kayu untuk bahan kerajinan. Bahkan banyak saya lihat warga desa mengerjakan kerajinan dari daun pandan untuk membuat tikar. Setelah jadi bisa dijual atau dipakai sendiri. Sementara dikota daun pandan hanya untuk pewangi masakan.

Yang kedua, masyarakatnya hidup sangat sederhana dan ramah-tamah. Bila bertemu selalu menyapa duluan dan suka tersenyum. Kalau dijakarta bor-boro. Yang ada siapa elu siapa gue. Meski tak hampir semuanya begitu. Karena kesederhanaan warganya membuat saya jadi tahu hidup prihatin. Tak lagi membuang-buang uang untuk belanja yang tidak perlu seperti dulu, apalagi kalau sudah ke Mall. Padahal awalnya cuma ingin cuci mata. Nyatanya tergoda untuk membeli yang sesungguhnya kurang kuperlukan.


Yang ketiga, semangat kebersamaan warga desa cukup tinggi bila dibandingkan dengan warga kota. Bila ada warga yang terkena musibah, tanpa dikomando mereka saling membantu dengan memberikan apa saja yang mereka miliki. Bisa beras, makanan kering, uang ataupun tenaga. Hingga yang terkena musibah merasa diringankan. Begitu juga bila ada yang keriyaan (red: hajatan) maka hal yang sama juga mereka lakukan. Biasanya yang datang membawa bakul yang berisi beras, makanan kering dan kue-kue, juga barang lainnya. Ada juga sih yang hanya memberi uang diamplop, tapi hanya sedikit. Dan hal yang sama akan dilakukan bila yang bawa bakul punya hajatan, maka yang dulu dibawaain harus membawa apa yang dulu diberikan sipembawa bakul. Jadinya impas. Yang uniknya lagi, musik penghibur selama hajatan asli musik Indonesia yaitu Nasyid atau dangdutan. Dan kue-kue yang disajikan tak jauh-jauh dari aneka jajajan yang khas Indonesia seperti kue cucur, uli, dodol, wajik, rengginang, bolu kukus, dan banyak lagi.


Begitu juga bila ada salah satu warga yang sakit atau terkena musibah. Maka berbondong-bondong warga desa mengunjungi si sakit. Tak hanya sampai disitu, bila ada yang terkena musibah, maka warga urunan menyumbangkan dana bagi yang ditimpa kemalangan. Entah karena sakit parah dan tak punya biaya untuk berobat, juga kemalangan lainnya. Ternyata keramahan dan ketulusan semuanya bisa kita saksikan di kampung, selain  udaranya yang sejuk, sifat warganya yang kreatif, peduli satu sama lain, ramah tamah dan suka bergotong royong. Hal yang tak saya temui selama tinggal dikota.


Akhir kata saya ingin mengucapkan Selamat ulang tahun yang ke 28 Nova moga kedepannya makin berisi berita yang lebih seru, asyik dan menginspirasi semua keluarga. Amin....