Jumat, 25 Oktober 2019

Jejak Digital Yang Baik

Di era digital sekarang ini, kita harus pinter mengendalikan jari. Sebab kalau tidak, banyak yang akan menjadi korban dan tersakiti. Terutama bagi perempuan, yang menurut penelitian  pengguna paling banyak sekitar 64 %.


Tentu kita masih ingat kasus istri TNI yang baru baru ini. Akibat nyinyir di media sosial, akibatnya berdampak pada pemecatan jabatan suaminya. Kisah lainnya masih banyak lagi kita dapati, dimana pelaku sampai masuk penjara akibat tulisannya di media sosial. Tak salah bila Ibu Trisna Willy mengatakan dulu televisi berbahaya, tapi sekarang media sosial lebih berbahaya lagi.

Bagaimanapun keluarga yg kuat adalah cermin dari negara yg kuat, sehingga perempuan harus melek media sosial namun dengan cara yg bijak dalam penggunaannya.
Menurut Erik Mubarok, Praktisi Media Sosial. Coba bertanya pada diri apakah kita lebih banyak menerima efek positif atau negatif dari internet? Contoh positif misalnya memudahkan kita dalam berdagang online.


Sehingga dalam bermedia sosial baiknya

1. Saring sebelum sharing
2.Menjaga agar suami kita selalu tenang dalam bekerja , sebab ada UU ITE  lewat perbuatan yg tidak menyenangkan

Bahkan menurut  Prof. Dr. Henry Subiakto, Staf Ahli Kemkominfo Bidang Hukum, dulu anak anak  bermain secara fisik di luar rumah, sekarang main gadget. Dulu belajar lewat buku sekarang lewat gadget. Dulu anak anak masih mau di beri uang tunai, sekarang mintanya gopay, ovo. Jadi benar benar ada perubahan.

Tak heran, makin jarang sekarang anak-anak nonton tv dan baca koran. Hal ini sudah menjadi fenomena dunia. Kalau ada yg nonton tv sekarang mungkin usianya yg sudah tua atau seleranya tua.



Apalagi sekarang semua orang bisa jadi wartawan dengan hanya modal hp. Potret dan rekam video lalu upload. Ibaratnya sekarang internet itu sudah seperti kebutuhan oksigen saja, kalau tidak ada bisa mati.

Belum lagi game online, yang  di satu sisi game online sudah jadi bagian olahraga dan produk industri. Dimana paling banyak dunia industri game online ada di Jepang.  Faktanya lagi facebook kian membesar karena kebutuhan memperhatikan dan diperhatikan bagi setiap orang tersalurkan.

Intinya berhati hatilah dalam bermedia sosial karena ada jejak digital dari Google, terutama bagi anak anak kita. Ibaratnya udah ada malaikat baru. Selain itu menurut Ibu Rahmi Psikolog, ciptakan Chat Time atau waktu buat anak, agar tidak kecanduan gadget dan pornografi.



Senin, 14 Oktober 2019

Rahim Bumi 2



Aku berlari kecil di sepanjang jalan teladan. Hatiku bungah dan girang ingin segera sampai di sekolah. Kang Asep benar ,akhirnya guru yang pemarah itu diberhentikan dari sekolah, karena banyak orangtua murid yang mengadukannya. Diganti dengan guru yang baru. Namun yang membuatku kembali betah disekolah adalah Pak Masumi. Wali kelasku yang baru, karena wali kelas yang lama sudah pensiun. Guru baru yang tak pernah sekalipun mengumbar rasa marah. Apalagi sampai membentak murid. Guru yang bagiku memiliki sejuta kesabaran dan kasih sayang yang tulus dari hati, hingga terasa sampai di hatiku dan anak didik beliau. Di depan pintu gerbang aku bertemu Pak Masumi, guru idolaku dengan sepeda kumbangnya, Pak Masumi tersenyum kebapakan ke arahku. Senyum yang selalu  kurindukan dari sosok Ayah. 

“Wah, si kecil rajin sekali sudah sampai sekolah duluan,” Pak Masumi membelai pipiku.
Aku hanya menjawab dengan senyum malu-malu namun senang dan tersanjung. Lalu segera masuk kelas dengan semangat 45, sembari menatap punggung Pak Masumi memasuki kantor guru-guru. Suasana kelas masih lengang karena baru diriku yang datang. Sementara bel masuk sekolah masih 15 menit lagi. Sambil menunggu pelajaran dimulai, aku ambil pe-er karanganku,  dan kubaca lagi dengan cermat. Hmmmm...rasanya sudah tak sabar ingin segera membacakannya dihadapan teman teman dan Pak Masumi.

Tak terasa, bel sekolah berdentang nyaring di telinga. Satu persatu murid sekolah dasar negeri 19 berlari masuk ruangan. Bangku kelas empat pun mulai dipenuhi siswa, termasuk bangku di sebelahku. 

“Hai Rena, bagaimana pe er karanganmu? “
“Belum selesai, baru separuh. Rasanya aku tak berbakat mengarang seperti dirimu,” jawab Rena Manyun.
“Masak sih? Boleh aku liat ceritamu Rena?”
“Gak usah ah, aku malu,” tawa Rena.
Aku pun tak lagi memaksa Rena. Apalagi Pak Masumi sudah masuk kelas. Tanda pelajaran sebentar lagi akan di mulai.
“ Sepulang sekolah, aku boleh main ke rumahmu Lis?  Mau belajar bikin cerita,” Bisik Rena. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Tentu saja aku tak keberatan malah senang sekali. Apalagi Rena sahabat karibku dari  kelas satu hingga sekarang  ini. Rena pun tersenyum senang.
“Baiklah! Sekarang bapak akan memanggil satu persatu siswa untuk membacakan hasil karangan yang kemarin bapak suruh di depan kelas. Bapak mulai dari Geulis dulu.”
Penuh antusias, aku segera ke depan kelas.
 “Ayo dibacakan, bapak dan teman-temanmu sudah tidak sabar,” ucap Pak Masumi lagi sambil tersenyum ramah.
“Baik Pak,” jawabku mantap.

Tuhan.....Ijinkan aku bertanya. Mengapa kau ambil sosok Hero dalam hidupku? Padahal, aku butuh dia menjadi pahlawan dalam hidupku. Membantuku mengerjakan pe-er. Mendengar curhatanku, juga menghiburku di saat bersedih. Terutama saat aku melihat betapa mesranya hubungan mereka dengan ayahnya di luar sana. Yah, semua teman-temanku memiliki ayah dalam hidup mereka. Aku sangat iri  dan berkhayal kau  menggendongku Abah, kala kuterjatuh dan tertidur diatas kursi, saat membaca buku. Lalu membaringkanku di atas kasur dengan seulas kecupan sayangmu. 

Aku juga ingin bercerita banyak padamu Abah. Tentang sekolahku, teman-temanku yang lucu, juga tentang guru-guruku. Dan aku juga ingin membanggakan dirimu di hadapan semua orang bahwa kaulah Heroku. Pahlawanku yang hebat seperti Superman tokoh favoritku, yang bisa terbang dan melindungi semua orang. Yah, aku ingin kau menjadi pelindungku. Juga pelindung bagi Ambu. Oh Abah…Aku tak bisa marah padamu apalagi pada Tuhan, yang telah membawamu pergi begitu saja tanpa pernah kudengar salam perpisahan dari suara lembutmu juga belaian kasih mesramu. Aku ingin kau kembali, tapi itu tak mungkin, agar selalu ada yang melindungi diriku yang kecil ini. Amin.....

Hari terus berganti dengan cepat. Aku kembali bisa menikmati sekolahku. Hal yang belum pernah  kurasakan sebelumnya. Apalagi  Pak Masumi semakin perhatian padaku, hingga membuat iri teman teman sekelasku. Mungkin karena setiap pertanyaan yang diajukan Pak Masumi, aku selalu lebih dulu mengacungkan tangan dengan semangat empat lima untuk menjawab. Tak ada lagi rasa takut dihatiku. Selain itu, aku jarang mendapat nilai dibawah sembilan. Bahkan lebih banyak sepuluh hingga raportku mendapat point tertinggi. Terutama dalam pelajaran mengarang dan bahasa Indonesia. 

Kusadari, untuk bisa tumbuh, setiap pohon membutuhkan tanah sebagai rahimnya. Begitu juga denganku, yang terlahir dari rahim seorang Ambu yang lemah lembut namun rapuh. Terlebih dahulu saya perkenalkan siapa Ambu sebenarnya. Terlahir sebagai anak satu-satunya dari seorang ibu yang menikah lebih dari satu kali. Ambu hanya memiliki satu saudara laki-laki tapi dari lain ayah. Adapun saudara-saudara tiri Ambu yang lain meninggal sejak baru lahir. Yah, sebagaimana Ambu, Nini (nenek) juga terkenal cantik dan merupakan Mojang yang diperebutkan banyak Jajaka. 

Ambu sendiri tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dengan rambut hitam bergelombangnya nan lebat. Berkulit kuning langsat dan berhidung bangir dengan alis tebal dan mata yang hitam bulat indah. Perpaduan dari ibu Sunda dan ayah Ambu seorang Pakistan. Tentu banyak Jajaka yang tertarik mempersunting Ambu. Tak terkecuali tukang pengantar surat yang sering datang dan lewat di depan rumah Ambu. Namun Nini adalah wanita yang sedikit keras dan otoriter. Ia tak ingin Ambu menikah bukan dengan pria pilihannya sendiri. Ia pun tak pernah menerima setiap lamaran yang datang mempersunting Ambu. Ambu meskipun seorang anak yang penurut, tapi sesungguhnya jiwanya mudah memberontak sehingga menurun padaku. 

Suatu hari seorang pria paruh baya yang sudah memiliki 5 orang anak datang untuk melamar Ambu.
“Lilis belum mau menikah Ambu! Apalagi dengan pria yang sudah pernah memiliki banyak isteri.”
“Apa salahnya Neng? Toh isterinya sudah meninggal dan sebagian sudah diceraikan karena tidak cocok.”
“Mengapa Ambu begitu bernafsu menjodohkan Lis dengan pria yang usianya tak jauh beda dengan Ambu? Harusnya Ambu saja yang menikah dengannya!”
“Lilis! Ngomong apa kamu? Jangan kurang ajar! Kan pria tua itu sukanya ama kamu, bukan Ambu. Lagian, apalagi yang kamu tunggu? Sekolah tidak lagi dan umurmu juga semakin bertambah. Ambu yakin duda ini pria yang baik, karena bertahun-tahun Ambu sudah ikut bekerja di Saungnya.
“Ambu memang kejam! Dan tak pernah mau ngertiin Lis,” protes Ambu hingga mengurung diri di kamar selama berhari-hari. 

Ambu memang tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Selain alasan ekonomi, matanya yang sebelah kiri juga sering sakit hingga beberapa kali harus di operasi. Walaupun begitu, mata kanannya masih bisa melihat ketika ia ingin membaca. Apalagi Ambu senang membaca banyak buku meskipun hanya sekolah sampai tingkat SD. Kebiasaan yang akhirnya menurun padaku, yang seorang kutu buku. Hanya aktivitas menjahit saja yang terpaksa Ambu hentikan, karena matanya sudah tidak sekuat dulu lagi. Padahal banyak sudah hasil border jahitannya yang sudah jadi. 

Minggu, 13 Oktober 2019

Rahim Bumi 1



Seperti biasa, mendung selalu menyapa warga tanah Pasundan, dengan naungan awan melankolisnya selalu menyapa ramah terutama saat petang. Tak terkecuali hutan mini yang selalu dikunjungi kaum pendatang dan warga sekitar. Hutan mini yang terletak di pusat Kota Bogor dan merupakan Kebun Raya tertua di Asia Tenggara ini, tak hanya menawarkan kecantikan alam tropis dengan beragam jenis Flora Nusantara, tetapi juga berjasa bagi paru-paru bumi Kota Hujan ini. Tempat dimana rahim bumiku melahirkan dan membesarkanku. Berbalikan dengan Bumi Pasundan yang lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.Diriku sendiri terlahir ketika Ambu (ibu) sedang dilanda kemurungan, hingga tak bisa mencegah lahirku yang lebih cepat dari usia normal. Prematur!

Masa Kecil Yang Tak Terlupakan

Pagi menyambutku dengan semburat kemerahan di atas langit. Matahari mulai muncul malu-malu enyambut hari. Aku dengan seragam merah putihku, berjalan cepat menuju sekolah. Melewati jalan sepanjang satu kilometer setelah enam bulan tak melewati jalan ini karena mogok sekolah. Dadaku menyimpan semangat dan harapan untuk berani kembali ke bangku sekolah demi Kak Asep dan Ambu. Meskipun aku lebih betah belajar di rumah. Andai bisa sekolah dari rumah, alangkah bahagianya. Tapi bagi Ambu, homescholling bukanlah hal yang banyak dilakukan orang di jaman nya. Mungkin suatu saat nanti, aku yang akan mendirikan home schoolling bagi anak-anak yang bermasalah dengan sekolah sepertiku. Kali ini, aku mencobanya lagi demi cita-citanya menjadi Dosen dan penulis.

Awalnya, kembali masuk sekolah serba menyenangkan. Melihat anak-anak berseragam merah putih berlari riang di taman. Suasana kelas terdengar riuh rendah oleh teman-teman baruku yang baik hati. Disampingku duduk Rena sahabatku, dengan kedua pita merah di rambutnya yang dikepang.  Mengeluarkan alat tulis untuk mata pelajaran hari ini. Tersembul senyum manis di bibir tipis Rena. Aku merasa, tak ada yang lebih menyenangkan selain menjadi murid sekolah lagi, setelah sebelumnya ogah disuruh balik ke sekolah lagi. Hatiku riang menyambut hari hari di sekolah yang baru beberapa hari ini. Semenjak kami pindah ke kota Medan, mengikuti saudara Abah yang memiliki usaha restoran.

            Lalu dengan cepat semuanya kembali berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Ketika guru berwajah sangar dengan suaranya yang menggelegar masuk ke ruangan kelas. Menatap murid satu persatu dengan matanya yang menyala. Dan mulai mengeluarkan suara perintah dengan keras.

            “Sekarang, keluarkan catatan kalian! Ibu akan mengajarkan mata pelajaran seni suara.”
            Dengan tergesa, para siswa baru termasuk diriku menjalankan perintah. Sibuk mengeluarkan buku dan pensil. Lalu dengan mata yang menatap lurus ke depan menyimak pelajaran. Menulis not balok di buku sesuai yang terlihat di papan tulis. Setelah itu mengikuti Bu Matondang, mengucapkan bunyi nada satu persatu. Tubuhku serasa kaku karena takut bergerak. Kedua tanganku terlipat ketat di atas meja. Keringat dingin mulai terasa membanjiri tubuh kecilku.

            “Ayo ulangi sekali lagi. Yang benar! teriak Bu Matondang lagi. Nyaliku semakin menciut. Apalagi saat bangku mulai di datangi satu persatu oleh Bu Matondang. 

            “Sekarang giliranmu. Ayo ikuti saya. Dooooo…..!!!!!
            Aku menjawab penuh gemetar hingga bunyi Do, terucap penuh getaran.
            “Yang kencang dong! pelan kali suaramu,” keluh Bu Matondang memasang wajah kesal.

Sia-sia, suara yang keluar dari bibirku tetap halus hingga nyaris tak terdengar. Tak sesuai dengan yang diinginkan guru seni suara yang masih berdiri di sampingku. Apalagi untuk menyamai suara gerejanya. Akhirnya tangannya yang lebar menggebrak meja cukup keras, hingga terdengar ke seluruh ruangan. Aku menunduk marah di dalam  hati, bukan sekolah dan guru seperti ini yang aku inginkan menuntunku mencari ilmu. Tanpa menunggu lagi, aku berlari ke luar kelas tanpa memperdulikan tas dan alat tulisku di dalam meja. Tak menoleh sedikitpun, meski Bu Matondang berteriak  marah.

 “Hei, mau kemana kau?” Aku terus berlari dengan bersimbah air mata menembus gerbang sekolah. Menuju rumah sederhana dan mungil di ujung jalan. Ambu yang melihatku sudah pulang sepagi ini, terpana.
            “Geulis. Ada apa? Mana tasmu sayang?” Tanya Ambu sambil mengelus rambut ikalku.

            Aku hanya duduk dipojokan rumah dengan isakan. Menangis dan terus menangis dengan wajah penuh ketakutan. Tak berani berterus terang pada Ambu tentang keresahanku. Setelah puas menitikkan air mata dari kedua mata cokelatku, kulontarkan semua amarah dan kesalku di pangkuan Ambu. 
         
“Lis gak mau sekolah lagi Ambu.,” Jawabku sambil memeluk erat paha Ambu.
            Ambu hanya diam. Tidak mengeluarkan amarahnya juga nasehat. Beliau sudah tahu jawabannya. Tangan keriputnya hanya terus mengusap punggung putri bungsunya.
            “Dinakalin teman temanmu lagi?”
            Aku menggeleng.
“Oh, Lis dimarahi guru lagi?”
            Aku mengangguk.
            “Pokoknya Lis tidak mau balik ke sekolah itu lagi Ambu. Kita balik aja lagi ke Bogor,” isakku.

            Ambu kembali diam terpekur. Dia tahu, hanya Asep, Akangnya yang bisa membujuknya. Selagi masih bisa keadaannya di perbaiki, ia bisa kembali ke sekolah yang baru beberapa hari ia jalani. Sebelumnya di sekolah yang lama, aku mogok sekolah, karena gurunya sedikit-sedikit suka memukul dan menghukum di depan kelas. Nyaliku kerap ciut dan dilanda cemas saat berangkat ke sekolah. Hal ini terlihat dengan seringnya aku mendadak sakit perut ketika disuruh berangkat. Sementara di sekolah yang berikutnya, ada seorang anak murid yang suka membully dan mengerjaiku. Kenakalan ala anak anak yang tak bisa ditolerir meskipun hanya dilakukan oleh anak anak. Apalagi pihak sekolah tidak mau perduli dan cuek. Harapanku dan Ambu moga sekolah yang ketiga ini lebih ramah dan nyaman untuk tempat belajar. Tapi nyatanya, kembali terjadi hal yang sama.
            “Ya sudah. Sekarang ganti baju dan ikut Ambu ke pajak (pasar dalam bahasa Medan). Kita beli buku cerita yang banyak di toko buku bekas, ya.”

            Aku langsung terbangun dengan penuh semangat lagi. Mendengar Ambu berkata tentang buku-buku cerita. Tanpa menunggu lagi, segera kuanggukkan kepala dan mengikuti Ambu naik becak ke pasar Hayat Medan. Duniaku kembali penuh warna, walau hatiku bimbang apakah Ambu mau memindahkan sekolahku lagi? Setelah dua kali aku pindah sekolah karena tidak cocok dengan guru dan teman-teman disekolahku. Bahkan aku ragu, apakah masih mau sekolah. Lebih nyaman di rumah bersama Ambu dan Kang Asep. Meskipun Abah, sosok hero yang kurindukan sudah meninggalkanku. Tak lama setelah kepindahan kami ke Medan.

Bagiku, tak ada yang lebih menarik selain buku. Kalau buku sudah berada di tangan mungilku, maka aku akan lupa segalanya. Bahkan sampai tertidur memeluk buku dengan erat dan mesra. Biasanya kalau sudah begitu, Kang asep yang baru pulang mengajar privat, akan menggendongku ke kamar sambil melepaskan buku di tanganku dengan perlahan. Kak Asep yang kini menjadi hero dalam hidupku setelah Abah. Kang Asep yang selalu memberikan kata kata nasehat dengan lembut di telingaku, setelah Ambu. Kang Asep yang akan segera berlari panik, bila mendengarku menangis. Entah karena terluka jatuh dari sepeda, atau karena mendengar amukan amarahku karena sesuatu hal. 

“Lis, mau Kang Asep anterin ke sekolah? Bujuknya sambil menatap adik semata wayangnya lekat. Aku menggelengkan kepala dengan kuat.
“Jangan cemas, nanti Kang Asep akan bicara sama gurunya biar Lis tidak digalakkin lagi,” rayu Akangnya sambil melebarkan senyum charmingnya.
“Lis bukan hanya cemas Kang, tapi juga malu karena sudah dibentak di hadapan semua teman sekelas,” jawabku dengan mata yang masih fokus di buku cerita kesukaanku.

“Akang janji, bila Lis masih dipermalukan dan dimarahi lagi, maka Lis boleh belajar di rumah saja sama Akang, “ bujuk Kang Asep lagi sambil melebarkan matanya yang bulat dan hitam pekat. Rambut ombaknya menyentuh jidat lebarnya dengan sempurna. Akhirnya aku mengangguk lemah tanda setuju. Aku  percaya pada janji Kang Asep yang tak pernah mengecewakanku. Meskipun terkadang sikap Kang Asep tegas dan tak bisa dibantah. Namun kelembutan dan kasih sayang serta kelucuannya yang suka menghibur membuat diriku tenang. Akh, andai guru di sekolahnya seperti Kang Asep, pasti aku betah belajar disekolah lama-lama. Nilai-nilaiku juga pasti tinggi terus. Bagaimanapun, waktu dikelas satu hingga kelas tiga, aku rangking pertama terus di kelas. Apalagi kalau sudah pelajaran mengarang. Bahkan kepiawaianku bercerita, membuat teman sekelasku betah berlama lama duduk dihadapannku. Mendengar rangkaian cerita yang aku karang sendiri. Atau aku ceritakan ulang dari buku yang pernah kubaca.

 “Terus, gimana ceritanya Lis? Ayo, cerita lagi Lis, kok udahan? Lanjutin lagi cerita yang kemarin atau ceritain lagi yang kemarin.” Begitulah selalu celoteh teman-teman kecilku. Walau kadang aku bosan harus mengulang cerita yang sama.

Sabtu, 12 Oktober 2019

99 Nama Cinta, Film Roman Bernuansa Religi


Film Roman Bernuansa Religi


Bagi kamu penggemar film romance tapi tidak vulgar, bisa nonton film terbaru Acha Septriasa yang beradu akting dengan Deva Mahendra. Sebab flim ini meski berkesan romantis, namun memiliki sentuhan religi. Ciamik banget kanJ Kita sudah tahu bagaimana kualitas akting Acha Septriasa di film-filmnya yang selalu best seller. Sebut saja My heart, 99 cahaya di Eropa dan banyak lagi. Nah, kebayangkan bagaimana serunya bila Acha berhadapan dengan Deva Mahendra, yang berperan sebagai ustad gaul di film ini. Apalagi akting Deva Mahendra sangat keren di fim ini. Pokoknya ubin masjid banget deh. Deva Mahendra sendiri mengaku melakukan persiapan dalam penjiwaannya menjadi ustad dengan menggali sosok-sosok ustad dalam kehidupan sehari-hari, dengan memadukan pengalaman pribadinya selain referensi dari tim.



Review  Trailer 99 Nama Cinta

Bertepatan pada hari Kamis 10 Oktober 2019, MNC Film Indonesia menggelar acara review trailer  film 99 Nama Cinta. Film ini berkisah tentang sosok perempuan mandiri yang bekerja sebagai presenter infotaiment sekaligus produser bernama Talia (diperankan oleh Acha Septriasa). Seorang wanita ambisius yang menempatkan karir di atas segalanya. Walaupun harus menghalalkan segala cara. Baginya yang tepenting karirnya bisa sukses luar biasa. Nah, begitu bertemu Kiblat, ustad gaul  (diperankan oleh Deva Mahendra). Talia pun tercerahkan bahwa hidup tak hanya mengejar karir dan kerja keras melulu, tapi harus seimbang dan butuh ketenangan. Ibaratnya tak hanya mengejar kehidupan duniawi saja. Sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta dan mulai dipenuhi rasa cemburu, cinta, sayang dan keinginan untuk selalu bersama. Mungkin ungkapan di film ini “Kalau cemburu jangan terlalu, kalau benci juga jangan terlalu nanti jadi rindu” pas menggambarkan dua sejoli yang sedang mabuk cinta.




Proses Syuting Dan Para Crew

Lokasi syutingnya sendiri bertempat di Kediri Jawa Timur, yang menurut Acha sangat asyik dan menantang karena udaranya bila siang terik banget dan malamnya dingin. Ditambah lagi hembusan anginnya yang cukup kencang. Sampai Deva Mahendramengatakan Kediri rasa Melbourne karena dinginnya. Bagi Acha Septriasa sendiri ini syuting filmnya yang pertama setelah menjadi ibu. Bahkan ia rela datang dari Australia untuk syuting film ini, karena tertarik dengan jalan ceritanya. Meski sambil mengasuh putrinya Bridgia sendirian sambil bekerja di lokasi syuting.
Oh ya, film ini disutradarai oleh Daniel Rifki dengan penulis skenario yang handal Garin Nugroho. Adapun para pemain baru selain Acha Septriasa dan Deva Mahendra ada Chiki Fawzi (Husna), Adinda Thomas (Mlenuk), Susan Sameh (Chandra dan pemain stand up komedi Dzawin (Ustad Bambu). Ada juga artis senior Ira Wibowo (ibu Talia) dan Doni Damara (Kyai Umar)


Jadi pastikan ajak teman-temanmu tanggal 14 Nopember  2019 ini ke bioskop untuk menyaksikan film ini yah, agar rasa penasaranmu terobati untuk menonton film yang katanya ada sentuhan-sentuhan koreanya gitu. Sebelum nonton kamu juga bisa liat trailernya dulu di youtube. Berikut link youtube trailer filmnya.