Sesuatu
yang nyaman
Pastilah
itu surga
Sesuatu
yang damai
Pastilah
itu surga
Sesuatu
yang indah
Pastilah
bernama surga
Sesuatu
yang diliputi keteduhan
Hanya
bisa ditemukan di surga
Sesuatu
yang penuh kesenangan
Hanya ada
di surga
Dan,
surga di bumi itu bernama ibu
Tempat
berhimpun kenyamanan lewat dekapannya
Kedamaian,
lewat mata tenangnya
Keindahan,
lewat besar cintanya
Keteduhan
lewat kebijakannya
Dan
kesenangan lewat limpahan kasih sayangnya
Saya
punya kenangan indah bersama ibu tentang betapa kekehnya ibu kami tak ingin
menjual rumahnya. Namun disaat beliau mulai luluh dan mau tinggal dekat
kami anak-anaknya, sebuah peristiwa menyakitkan itu terjadi. Begini kisahnya
Ibu tak pernah mau rumahnya
dijual, meski dia harus tinggal sendiri tanpa anak-anaknya. Padahal kami
khawatir dengan ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Bayangkan saja, hampir
semua anak ibuku tinggal dirantau. Ada yang di Jakarta, ada yang di Padang, dan
ada yang di Yogyakarta.. Sebenarnya bukan setelah anak-anaknya menikah saja ibu
harus rela ditinggal sendiri di Medan. Semenjak anak-anak ibuku tamat SMA,
hampir semuanya memilih merantau ke Yogya untuk kuliah, termasuk diriku. Tak
dapat kubayangkan bagaimana kesepiannya ibuku. Apalagi ayahku telah lebih
dahulu dipanggil Tuhan. Otomatis ibu sering sendirian
Tapi ibuku tak pernah melarang
anak-anaknya untuk pergi. Baginya yang utama adalah, anak-anaknya menjadi orang
yang pinter dan bisa bersekolah setinggi-tingginya. Meski harus merantau
meninggalkan dirinya. Ibuku benar-benar mengikuti sunnah nabi yang berbunyi “ tuntutlah
ilmu sampai ke negeri China”. Sungguh luar biasa sosok ibuku di mataku. Padahal
setiap kami kembali lagi ke Yogya setelah masa liburan habis, mata ibu akan
berembun karena sedih dan haru. Sedih karena harus kembali ditinggal
anak-anaknya dalam jangka waktu yang lama. Haru, demi melihat kami bisa
mencicipi jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Setelah menikah, aku sangat
ingin ibu pindah ke Jakarta. Selain semua anaknya tinggal di ibukota, aku ingin
tinggal berdekatan dengan ibu. Maklumlah. Sedari SMA hingga menikah, aku hidup
dirantau terus. Aku ingin membahagiakan beliau dengan sering mengunjunginya dan
mengurusnya. Dan itu bisa terlaksana kalau ibu tinggal tak jauh dariku. Tapi
ibu menolak dengan alasan tak ingin meninggalkan rumahnya yang penuh kenangan
asam dan manisnya hidup bersama Abak. Akh, ibu. Tak inginkah dihari tuamu, kau
bisa berkumpul dengan anak-anakmu? Padahal kami sangat merindukan hal itu.
Untuk mengobati rasa kangenku
pada ibu, setahun sekali ibu kukirimi ongkos untuk datang ke Jakarta. Begitu
sampai di Jakarta, ibu akan kubawa pergi jalan-jalan kemanapun dia suka. Bahkan
ke kolam renang sekalipun, bersama anak-anakku yang ingin berenang. Tapi ibu
paling suka bila kuajak ke pasar Anyar Bogor. Kebetulan aku tinggal di daerah
bojonggede yang tak jauh dari bogor. Jadilah dengan nekat kuajak ibu naik
kereta. Meski awalnya ibu takut, tapi kulihat dari matanya ibu begitu antusias
dan bahagia dengan ajakanku.
Namun saat ibu harus kembali
lagi ke Medan, aku tak dapat menutupi rasa sedihku padanya. Dan lagi-lagi aku
meminta agar rumah di Medan dijual saja, supaya ibu bisa membeli rumah tak jauh
dari rumahku. Agar setiap saat aku bisa bersama ibu dan mengajaknya
jalan-jalan. Juga membacakan cerita-ceritaku padanya. Kebetulan aku suka menulis
cerpen dan sering dimuat di media. Ibu berkata akan mempertimbangkannya. Aku
merasa diberi setitik harapan. Hingga berdoa semoga ibu tak merubah niatnya
untuk membeli rumah di daerah bojongggede. Karena ibu merasa betah tinggal di
daerah tempat tinggalku yang menurutnya sejuk dan tidak panas seperti di
Jakarta.
Beberapa bulan setelah ibu
pulang ke Medan, ibu jatuh sakit. Kami pun memutuskan untuk mengobati ibu di
Jakarta saja, agar lebih efisien dan efektif. Mengingat hampir semua anaknya
tinggal di kota metropolitan. Ibu pun tak menolak dan segera kembali lagi ke
Jakarta untuk berobat. Begitu sampai, ibu segera kami bawa berobat ke dokter.
Dan vonis yang mengerikan itu benar-benar menghancurkan hati kami anak-anaknya.
Ibuku positif terkena kanker ganas. Duh Robbi!
Benar-benar tak kuduga
sebelumnya. Ditengah kebahagiaanku mendapat kabar bahwa salah satu cerpenku di
annida online akan dibukukan bersama 11 penulis lainnya, ibu harus terkapar
dirumah sakit karena menderita kanker dan komplikasi paru-paru yang parah.
Mengapa cobaan itu datang ditengah kegembiraan yang seharusnya kubagi dengan
Ibu, yang selama ini selalu setia mendengar cerita –ceritaku.
Aku tak bisa lupa betapa
antusiasnya ibu memintaku untuk membacakan ceritaku yang dimuat, karena matanya
mulai kabur diusianya yang sudah beranjak senja. Dengan senang hati aku pun
membacakan ceritaku sendiri untuk ibu hingga selesai. Dia pun dengan tekun
menyimak setiap kata demi kata yang aku bacakan untuknya. Juga ketika
kuutarakan pada ibu bahwa aku ingin membuat cerpen tentang gempa dengan judul “
Rumah mande” Cerpenku yang akhirnya di muat oleh annida –online dan menjadi
cerpen pilhan pembaca dibulan nop 2009. hingga dibuatkan video testimoninya.
“Nanti rumah ibu benar-benar
kena gempa, Ti,” ucapnya sambil tertawa tergelak-gelak.
“Gak mungkinlah bu. Ini kan cuma
sebuah cerita,” jawabku ikut tertawa. Kami pun tertawa bersam-sama setelah itu.
Baru kali ini kulihat ibu bisa tertawa begitu senangnya. Setelah sekian lama
hatinya dilanda duka.
Yah sejak kedua kakak lelakiku
meninggal karena kanker, ibuku sempat murung dan bersedih. Bahkan tak lama
abang tertuaku meninggal karena kanker hati. ibu pergi berjalan seorang diri
entah kemana. Dia terus berjalan tanpa tujuan. Dan akhirnya pulang setelah kami
menunggu dengan cemas dirumah.
“Entah mengapa, ibu tiba-tiba
ingin berjalan kaki kemana ibu suka,” jawabnya saat kami tanya kemana saja
dirinya. Akh…mungkin ibuku bingung harus bagaimana melepaskan rasa sedihnya
karena baru kehilangan anak kebanggaannya yaitu Uda Wan, kakak tertuaku.
Anaknya yang paling cerdas dan berprestasi. Hingga bisa sekolah keluar negeri
tanpa biaya. Sekaligus tulang punggung keluarga penggati Abak yang telah lebih
dulu meninggalkan kami.
Sungguh! Hati ini tak kuat
membayangkan tubuh ibu yang sudah renta itu harus menjalani pengobatan seperti
kemotrapi dsb. Apalagi yang kudengar dari orang-orang yang pernah terkena
kanker mengatakan bahwa setelah habis dikemo, rasanya sakit sekali. Lebih baik
digebug oleh orang sekampung daripada harus dikemo. Duh Robbi! betapa pilunya
hati ini mendengarnya. Setiap malam aku menangis memikirkan ibu. Aku tak kuat
memandang wajahnya yang selalu meringis menahan sakit
Aku hanya bisa berdoa agar Allah
memberikan yang terbaik untuk ibuku. Ya Allah…kalau memang ibu masih diberi
umur, sembuhkanlah penyakitnya. Tapi kalau memang umurnya sudah sampai,
Mudahkanlah jalannya menuju tempat-Mu disana. Ringankanlah sakitnya. Berilah ia
kekuatan dan ketabahan dalam menjalani penyakitnya. Doaku tiada henti
Doaku dikabulkan oleh
yang kuasa. Setelah beberapa bulan berjuang melawan sakitnya, akhirnya Ibu
dipanggil oleh Allah dengan tenang dan mudah. Kami pun memutuskan untuk
memakamkan ibu tak jauh dari rumahku. Niat untuk menguburkan ibu di Medan
disamping makam ayah, tak bisa kami wujudkan. Mengingat akan menelan biaya yang
sangat mahal dan memberatkan ibu sendiri. Karena harus menunda-nunda
pemakamnnya dengan segera.
Akhirnya, wanita berwajah surga itu benar-benar
tinggal tak jauh dariku dirumah barunya.. Selamat jalan Bu. Semoga dirumahmu
yang baru ini, kau akan merasa bahagia selama-lamanya. Karena doa kami
anak-anakmu, akan selalu menemanimu disana. Amin…
Hadiah ini diperuntukkan untuk almarhumah ibu saya Nurlela lewat sedekah saya pada IRT saya yg sudah mengabdi 10 thn lebih dan sudah seperti ibu saya sendiri