Suatu
hari saya mengikutkan Baim lomba foto dan meraih juara pertama. Namun begitu
saya tunjukkan bukannya senang malah Baim protes
“Baim
gak suka Ma, kalau foto-foto Baim di taruh di Facebook,” sungutnya dengan wajah
tidak senang.
Saya
pun tercenung hingga merasa bersalah. Betapa saya tidak menanyakan dulu suara
hati anak saya Baim, apakah ia suka foto-fotonya saya upload? Saya pun
menanyakan alasan Baim
“Baim
malu dan tidak mau orang banyak mengenali dan melihat wajah Baim,” begitulah
jawabannya pada saya.
Sebagai
ibu, saya berusaha memahami keunikan Baim yang tidak senang dipublikasi.
Mungkin setelah dewasa anak saya ini lebih suka bekerja di balik layar. Hmmmm…
Sejak
itu, saya akan minta ijin dulu padanya, bila ingin memposting foto-fotonya
salah satunya ketika saya menulis kisah Baim di Rubrik buah hati Republika.
Dimana ceritanya harus memuat foto anak yang kisahnya kita tulis. Mulanya Baim
tetap tidak bersedia, sebelum akhirnya menjawab
“Sekali
ini aja yah Ma.”
Saya
pun berjanji sambil mengemukakan alasan bahwa kali ini fotonya untuk dimuat
dalam tulisan yang bertujuan untuk berbagi kisah pengasuhan anak, agar orang
tua lainnya dapat memberikan pengertian kepada ananda yang sama tidak sukanya
seperti Baim, bila fotonya di upload di social media dan media cetak. Selain
itu saya jelaskan juga bahwa cerita dan foto-foto Baim bukanlah foto yang
memalukan. Baim akhirnya setuju dan ajaibnya, setelah itu Baim tidak merasa
malu lagi bila fotonya saya unggah sesekali untuk suatu keperluan. Tapi tetap
saya usahakan untuk tak terlalu sering dan masih meminta ijinnya. Bagaimanapun
anak memiliki privasi dan keinginan yang harus kita dengar dan hormati.
Cerita tentang Baim Di Rubrik Buah Hati Leisure Republika
Setelah
kejadian itu, saya sering mencari tahu soal keunikan anak saya Baim yang tidak
begitu suka tampil. Bahkan bila diajak bertemu saudara saat berkunjung, Baim
tidak segera mau berbaur alias malu dan merasa tidak nyaman. Lalu meminta
segera cepat pulang. Sebagai ibu, sekali lagi saya berusaha mencoba memahami
psikisnya. Salah satunya tidak memaksa Baim untuk segera berbaur, namun tetap
saya ajak bila ada pertemuan keluarga agar terbiasa. Ternyata setelah beberapa
lama, Baim akhirnya mau bergabung dengan sepupu dan keponakannya. Saya yakin
Baim hanya butuh waktu untuk beradaptasi, setelah dia melihat dan mempelajari
situasi sekitar. Begitu merasa nyaman, rasa malu dan enggannya akan hilang
sendiri.
Baim lagi belajar jadi imam bagi kedua saudaranya, karena kelak setelah dewasa kamu akan menjadi imam bagi keluargamu Nak...
Melihat
karakter psikis Baim yang berbeda dengan kedua saudara perempuannya, saya pun
mengikuti beberapa workshop dan talkshow tema parenting salah satunya talkshow
yang dilaksanakan dalam rangka memperingati hari #HalodocHariANak yang jatuh setiap tanggal 23 Juli dengan tema “Tips Menjaga Psikis Anak Sejak Dini”.
Disinilah
kesempatan saya untuk bertanya soal psikis Baim pada pada Dr.Tjhin Wiguna
Sp.KJ, seorang psikiater anak dan remaja di RSCM, yang menjadi narasumber di
acara ini. Saya pun mendapatkan jawaban perihal Baim dengan jelas bahwa mengapa
Baim lebih sensitif dan pemalu dibandingkan dua saudaranya. Bahkan tidak mau
ikut kegiatan olahraga seperti karate, silat dan olahraga lainnya. Padahal saya
ingin agar Baim mau mengikuti kegiatan olahraga, selain hanya bermain gadget
dan komputer di rumah. Sepertinya Baim kurang pede dan tidak senang
berkompetisi, ucap Dr.Tjhin. Oleh Dr Tjhin Wiguna, saya dianjurkan agar membawa
Baim konsultasi ke psikologi. Terima kasih Dr Tjhin atas sarannya:)
Ternyata salah satu poin penting dalam menjaga psikis anak sejak dini menurut Dr. Tjhin Sp.KJ
sebagai narasumbernya adalah bisa menjadi role model yang baik buat anak. Sebab
bagaimana anak bisa melakukan prilaku yang positif, bila di kesehariannya
mendapatkan contoh yang kurang baik dari lingkungan terdekatnya yaitu yang
pertama dari kedua orangtuanya. Bahkan Menurut survei, 2/3 ditemukan bahwa
nilai moral anak telah menurun sejak masih muda kenapa? Karena anak itu mudah
terpengaruh salah satunya lewat tontonan yang kurang mendidik. Bersyukur banget bisa ikut
hadir bersama #HalodocxMBC dan komunitas mombloggercommunity di acara keren ini.
Sebagai
langkah awal, saya mencoba mencari imformasi dulu #PakeHalodoc aplikasi ini
memuat fitur-fitur dimana kita bisa :
- - Berkonsultasi
langsung secara gratis dengan dokter anak melalui chat,voice call dan video
call. Aplikasi Halodoc juga memiliki tim medis mulai dari dokter umum,
spesialis anak, internis, hingga spesialis mata, yang online 24 jam.
- - Tersedia juga Pharmacy Delivery, fitur
layanan apotik antar 24 jam yang bebas biaya pengantaran. Para ibu dapat
memesan obat langsung melalui fitur ini.
- - Tak hanya itu, di Halodoc juga terdapat
Labs, layanan pengecekan kesehatan yang bekerjasama dengan Prodia. Fitur ini
memungkinkan phlebotomist (petugas lab) untuk datang ke rumah atau kantor, dan
melakukan pengecekan kesehatan seperti cek darah, ataupun urine. Saat ini fitur
Labs dapat dimanfaatkan oleh pengguna di sekitar Jakarta Pusat dan Selatan.
Keren pake banget ya @halodoc
Keren pake banget ya @halodoc
S Sebagai alternatif berobat tanpa keluar rumah dan bermacet-macet
ria. Mumpung ada fasilitas www.halodoc.com Si Dokter saku, karena aplikasinya bisa dibawa dan digunakan kapan saja lewat
android yang biasa ada di tas atau kantung baju kita. Mudah dan praktis.
Sebelum saya lanjutkan membawa langsung Baim ke psikolog saya ke @halodoc dulu. Setidaknya bisa
mencari tahu lebih awal apa yang harus saya lakukan sebagai orang tua dalam
menjaga psikis Baim, sebelum kemudian ditindak lanjuti.
Setelah
selesai mengikuti Talkshow ini, saya pun mendapatkan banyak masukan soal tips
menjaga psikis pada anak. Ternyata langkah awalnya sebagai orang tua adalah
dengan menjadikan dulu diri kita sebagai panutan yang baik bagi anak. Baik itu
panutan dalam hal:
-
Bersikap, misalnya masihkah saya mudah
marah dan sulit menahan emosi di depan anak? Mencoba berusaha untuk lebih
empati lagi dengan bersedia mendengar suara hati Baim dan kedua anak saya .
-
Berperilaku, misalnya tidak main gadget terus dan konsumtif dengan seringnya
berbelanja boros dan tidak perlu
- -
Berbahasa yang baik pada anak dengan
berusaha menjaga intonasi saat berbicara dan menyaring kata-kata yang keluar di
depan anak.
Saya jadi ingat kisah Andy F. Noya, seorang
wartawan dan pemandu acara “Kick Andy”, yang selama bertahun-tahun berusaha
mencari keberadaan guru sekolah dasar nya, yang bernama Ibu Ana. Rupanya sosok
Ibu Ana begitu melekat di hati Andy karena pernah menghiburnya dengan kekuatan
kata-kata.
“Andy,
kamu anak pandai, kamu tidak perlu cemas dengan kepandaianmu mengarang, Bu Ana
yakin kelak kamu akan menjadi seorang wartawan yang andal!”
Ternyata
setelah berpuluh-puluh tahun, Andy benar-benar berhasil menjadi wartawan andal.
Menurut Andy, kata-kata Ibu Ana telah mampu membangkitkan kepercayaan dirinya,
sehingga ketika Andy dapat bertemu kembali dengan gurunya itu, ia menangis
sambil mengucapkan terima kasih. Luar biasa sekali. Begitu dahsyatnya kekuatan
kata-kata.
Ini
menjadi pe-er saya sebagai orang tua yang belum sempurna. Sudahkah saya
memberikan kata-kata yang baik dan dahsyat untuk anak saya selama ini? Sebab
kalau bukan kita orangtuanya, siapa lagi? Bagaimanapun Tuhan telah menitipkan
anak pada kita untuk dijaga perkembangan fisik dan psikisnya. Bahkan harus
sudah dimulai sejak dalam kandungan. Dimana nanti akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak. Selain itu, anak yang tidak dijaga psikisnya sejak dini, saat dewasa kelak akan menjadi hutang orangtua yang harus dibayar. Bukankah sering kita dengar dan saksikan? Anak anak yang bermasalah setelah dewasa, hingga menyusahkan orangtuanya. Seperti pecandu narkoba, sex bebas dan lainnya
Lebih baik lagi bila ayah turut serta dalam mendidik anak, karena ayah adalah vitamin yang sangat diperlukan anak dalam tumbuh kembangnya. Begitulah salah satu ucapan ahli parenting yang pernah saya dengar. Terutama dalam hal mengajarkan keberanian dan kemandirian anak. Sepertinya saya harus lebih sering berkomunikasi dengan suami, agar lebih sering terlibat dan punya waktu buat ketiga buah hati kami. Mengingat kesibukannya bekerja yang sering pulang larut malam. Resiko tinggal di Jakarta yang rawan macet dan menghabiskan banyak waktu di jalan. Apalagi kami tinggal agak jauh di pinggir kota yaitu Bogor. Sebab harga rumah di kota Jakarta yang gila-gilaan mahalnya untuk karyawan swasta seperti suami.