Mom Blogger Community

Mom Blogger Community
Member Of MBC

Senin, 05 Maret 2018

"Pohon Setia"


Kususuri jalan menuju rumah tempatku di lahirkan dan dibesarkan di daerah pinggiran kota.  Setelah beberapa menit, akhirnya sampai juga di rumah masa kecilku




 Rumah bercat hijau itu adalah rumah yang selalu mampu menentramkanku sedari kecil meski tanpa asuhan seorang ibu yang sudah meninggal sejak aku dilahirkan.

Di rumah itu, hanya Bapak yang selalu menjaga dan merawatku sepenuh cinta, tanpa mau menikah lagi. Bagaikan kesetiaannya menjaga pohon-pohon dan tanaman miliknya di rumah seluas 1.000-an meter, kesetiaan Bapak terhadap Ibu tiada duanya. Kokoh bagaikan sebatang pohon.

Bahkan ketika Mas Bram kudapati tengah mengantarkan seorangw anita bertubuh langsing, berkulit putih, dan berambut panjang hitam legam ke stasiun kereta menuju Bandung, Bapak menguatkanku hingga membuatku rela memaafkan Mas Bram yang menangis penuh penyesalan di malam itu.

 “Nduk, setiap orang harus diberikan kesempatan kedua untuk berubah, karena manusia tidak ada yang sempurna termasuk suamimu. Jangan gegabah mengambil keputusan bila akhirnya kau menyesalinya,” nasihat Bapak kepadaku.

“ Ingatlah, pernikahan itu ibarat pohon yang harus dirawat dan dijaga agar bisa tumbuh sempurna. Jadi, jagalah pernikahanmu, Nduk,” lanjut Bapak.

Aku hanya mengangguk mendengar wejangan bapak. Meski dihati masih terasa sakit, aku setuju dengan saran bapak. Tak ada salahnya memberi kesempatan kedua bagi Mas Bram untuk berubah.

Terbukti setelah perselingkuhan itu, Mas Bram bertambah sayang dan perhatian padaku. Entah karena rasa bersalah atau karena takut kugugat cerai, karena aku tak ingin di madu dengan wanita manapun.

Meski lelaki diciptakan dengan banyak cinta menurut orang-orang. Tapi aku ingin Mas Bram hanya memiliki satu cinta untuk kusatukan dengan cintaku dalam membangun pohon pernikahan kami.

Rumah Bapak  mudah dikenali, karena ada pohon ketapang yang tinggi dan rimbun di depan rumah. Ada juga pohon serupa beringin, walau kecil. Bahkan kalau masih ada tanah lebih, Bapak ingin menanam pohon trembesi sebagai pohon utama, yang tingginya bisa mencapai 25 meter.  Tapi pohon ki hujan tersebut sangat banyak membutuhkan air, hingga bisa mengancam keberadaan sumber air tanah, apalagi bila di daerah dangkal seperti di perumahan. 

Meskipun rumah mereka tidak di daerah perumahan, tapi bapak tidak ingin warga sekitar kekurangan air. Sebagai gantinya, bapak hanya menanam pohon Kenari ataupun Asam Jawa yang memang mempunyai perakaran dalam, dengan tajuk yang tidak terlalu lebar namun cukup memberi keteduhan tanpa merusak badan jalan. 

 “Assalamualaikum....”

“Waalaikum salam. Tumben tidak bersama Bram? Kemana suamimu? Tanya Bapak heran.

“Trembesiwati ingin menggugat cerai Mas Bram pak,” jawabku spontan sambil mendudukkan pantatku di kursi rotan.

“Loh, loh, kok datang tiba-tiba mau ngomong cerai. Apa sudah kamu pikirkan mateng-mateng Nduk? Jangan gegabah mengambil keputusan soal perceraian, meskipun dihalalkan namun sangat dibenci Gusti Allah loh,” jawab Bapak sambil membelai rambut hitam sebahuku.

“Wati sudah tidak tahan lagi pak. Bila Mas Bram tidak mau merubah keputusannya, lebih baik kami berpisah saja mumpung belum punya anak,” ucapku sambil menahan air mata yang hendak mendesak keluar.

“Sabar, sabar Nduk. Tenangkan dulu dirimu. Sebenarnya masalahnya apa toh? Hingga sampai ingin menggugat cerai suamimu?” Bapak mencoba menenangkan emosiku yang lagi memuncak ke ubun-ubun dengan menyodorkan segelas infuse water padaku.

Aku masih enggan menjawab dan lebih memilih menatap warna-warni bunga yang tumbuh dihalaman samping rumah.

Tak bisakah Mas Bram mencoba untuk setia seperti pohon? Yang selalu setia memberi kebaikan pada manusia dan kehidupan, meskipun disakiti oleh tangan-tangan tak berperasaan. Tetap memberikan udara segarnya berupa oksigen dan menabung air untuk kehidupan dalam akarnya.

Tak ada jalan lain, aku harus segera angkat kaki dari rumah karena sudah tidak tahan.. Meninggalkan Mas Bram yang duduk terpekur seorang diri. Membiarkan suamiku itu untuk memikirkan ulang rencana tak manusiawinya itu.

Perkenalan kami terjadi saat sama-sama bergabung dalam Laskar Hijau. Sebuah komunitas yang memiliki misi mengajak manusia untuk kembali merawat bumi, dengan menjaga pohon-pohon tetap lestari.

“Saya Bram, lengkapnya Bramantyo Hanung “ seorang pria berpenampilan modis tersenyum ramah padanya. Dari pakaian dan penampilannya yang berkelas, kelihatan dia berasal dari keluarga sangat mapan dan berkedudukan.

“Trembesiwati,” balasku sambil tersenyum malu-malu.

Bram terbelalak kaget sambil tersenyum geli.

“Namamu unik sekali, mirip nama  pohon kyai-nya hujan.

“Memang,  trembesiwati nama pemberian bapakku yang sangat senang merawat pohon. Tak heran bila bapakku di juluki bapaknya pohon oleh warga.”

“Oh ya? aku jadi penasaran ingin bertemu bapakmu. Boleh kapan-kapan aku main ke rumah?” tanya Bram sambil kembali melempar senyum genitnya.

Aku tersanjung mendengar permintaan Bram, yang mirip artis korea itu. Tubuhnya yang tinggi dengan mata bulat hitam dan alis tercetak tebal indah. Terlihat sempurna dengan balutan warna kulitnya yang seputih beras. Tanpa menunggu, aku pun mengangguk sambil memasang senyum semanis mungkin.

Tak ingin lebih lama lagi larut dalam kenangan yang menguras air mata, aku beranjak ke kebun belakang dan memanjat pohon jambu biji kristal.

Jambu biji kristal manis kesukaanku karena tak banyak bijinya. Bibit nya sendiri bapak dapatkan saat pergi ke Mekarsari. Memetiknya dan memakannya dengan pikiran yang menerawang. Bapak hanya tersenyum menatapku dari balik jendela dapur.

 Mungkin kali ini Bapak akan mempertimbangkannya, bila tahu alasan Trembesi. Akhirnya aku turun dari pohon jambu mendekati Bapak yang datang menyusul ke kebun.

“Begitu beratkah kesalahan suamimu? Seberapa berat Nduk? Hingga kau tak bisa mentolerirnya lagi?”

“Sangat berat Pak, karena ini menyangkut keselamatan manusia, paru-paru dunia dan pohon,” tegasku lagi.

Bapak tak berkata-kata lagi, malah dan kembali asyik merawat pohon-pohonnya. Ia pasti terkejut mendengar perkataanku tentang Mas Bram dan orang-orangnya yang ingin membakar lahan hutan tropis secara paksa, demi segera menanam sawit berhektar-hektar luasnya!

Sebuah tindakan perusakan pohon yang sangat Bapak benci, selain tindakan perceraian.

Sebulan kemudian, aku dan Bapak menyaksikan berita di televisi tentang asap yang banyak mencemari udara hingga membuat jalanan gelap.

Lalu lintas terhenti karena jalanan tak bisa dilalui akibat gelap terkena asap. Belum lagi berita banyaknya warga yang sesak nafas dan asma akibat udara yang tercemar polusi asap hasil pembakaran lahan besar-besaran hingga ke hutan tropis, yang sesungguhnya sangat dilarang pemerintah.

Tampak banayak warga yang harus memakai masker di jalanan. Ditambah lagi, warga mulai mengalami kesulitan air tawar, karena hutan adalah sumber air tawar bagi masyarakat.

“Benar-benar keterlaluan!” keluh bapak sambil mengipas-ngipas tubuhnya, akibat suhu udara yang kian panas.

 Kini keteduhan, ketenangan dan keademan kota tempat ia dilahirkan, sudah tak lagi berfungsi sebagai paru-paru bagi mereka dan warga setempat. Bahkan mungkin juga dunia!

 Dimuat di majalah Media Kawasan January 2018