Mom Blogger Community

Mom Blogger Community
Member Of MBC

Kamis, 29 November 2018

Jangan Sembarangan Memasukkan Anak Ke Daycare


Semakin banyaknya wanita yang bekerja di luar rumah, kebutuhan akan Daycare semakin tinggi. Sebaiknya sih ibu yang harus menjaga dan mengurus anaknya sendiri.  Tapi karena berbagai factor dan kondisi setiap keluarga yang berbeda-beda, mengharuskan para ibu ikut bekerja membantu mencari nafkah atau demi mengembangkan karir dan potensi si ibu. Sebenarnya tak ada salahnya bila menitipkan anak ke Daycare agar ibu bisa tenang bekerja, daripada ditinggal di rumah bersama asisten rumah tangga. Apalagi sulit mencari asisten rumah tangga yang bisa dipercaya dan mumpuni dalam menjaga anak kita. Mengingat banyaknya kasus penculikan dan penyiksaan anak bila diasuh orang yang baru dikenal. Namun bukan berarti menitipkan anak ke sembarang Daycare. Sama halnya seperti dalam hal memilih asisten rumah tangga, Daycare juga tak semuanya aman dan nyaman untuk anak kita. 



Saya beralasan begini demi mendengar pengalaman seorang teman yang pernah bekerja di Daycare. Mulai dari Daycare yang bagus karena dalam sistem dan pemilihan pengasuh benar-benar penuh disiplin dan seleksi ketat. Sampai Daycare yang asal memilih pengasuh tanpa melihat kualitasnya. Bayangkan, pengasuh yang menjaga anak di Daycare bermasalah ini tanpa seleksi alias tidak dilihat tamatan sekolahnya apa dan bagaimana karakter si pengasuh. Jadi siapa saja bisa diterima bahkan yang hanya lulusan SD. Lah, apa bedanya dengan pembantu yang mengasuh di rumah? Tak hanya itu, menurut teman saya satu pengasuh harus menjaga 5-7 anak setiap harinya. Sehingga asal-asalan dalam menjaga anak yang dititipkan seperti marah-marah bila mengurusi anak yang buang air besar, karena sudah lelah sementara gajinya tidak sesuai. Akhirnya teman saya memutuskan berhenti dan memutuskan membuka Daycare sendiri secara kecil-kecilan dan sederhana meskipun hanya sedikit menampung anak yang dititipkan.


Herannya Daycare bermasalah ini menerima banyak anak tanpa perhitungan yaitu sekitar 50 anak! Ckckckck…bagaimana bisa maksimal dalam menjaga dan mengurusi anak kita. Yang lebih mirisnya lagi, orangtua yang sudah membawakan seabrek makanan dari rumah untuk anaknya di Daycare, malah para pengasuhnya yang makan. Soal si anak mau makan atau tidak terserah alias tidak adanya usaha dari pengasuh untuk membujuk. Bisa baca juga tentang Fakta miris daycare

Memang tidak semua Daycare seperti itu, tapi tetap banyak ditemui yang kurang nyaman dan dipercaya. Masalahnya yang kita titipkan anak manusia, bukan anak kucing. Bila anak tidak mendapatkan kenyamanan malah sebaliknya diabaikan begitu saja dan didera rasa takut, apa tidak kasihan? Saya tidak bisa membayangkan bila itu terjadi pada anak saya duh….! Untuk itu kalaupun harus menitipkan anak di Daycare perlu sekali cek and ricek lebih dulu

-          Apakah fasilitasnya memadai? Mulai makanannya serta alat permainan dan fasilitas yang bisa mengedukasi anak

-          Yang utama lihat siapa yang akan menjadi pengasuh anak kita apakah sudah terlatih? dan lulusan dari sekolah apa? Misalnya lulusan psikologi dan pendidik yang sudah mengerti dunia anak.



-                                                                                                   Sumber foto : ilovelife.co.id
     
     Apakah pengasuhnya penyayang anak-anak atau tidak?, karena anak kitalah ayang akan menjalani kebersamaan bersamanya sampai sore. Mengingat usia sampai 7 tahun adalah kebutuhan terbesar anak dalam bonding dengan orang tua dan pengasuhnya. Kasihan kan? Bila anak tidak merasa nyaman bersama orang lain selain ibunya sendiri.

-          Lebih baik lagi bila Daycarenya dilengkapi CCTV, sehingga kita bisa melihat apa yang terjadi saat anak dititipkan. Biasanya biayanya lebih mahal dan tidak semua Daycare memiliki fasilitas ini.

-           

                                                      Sumber foto :MommyAsia

Anak adalah harta kita yang paling berharga, sehingga perlu kita rawat dan jaga sepenuh hati. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari akibat terjadi sesuatu pada anak seperti rasa trauma akibat mengalami kekerasan dan hilangnya kedekatan dengan ibunya  sendiri. Bagaimanapun penjaga terbaik bagi anak adalah ibu kandungnya sendiri. Sekiranya tidak terlalu urgent, lebih baik memilih anak daripada karir atau pekerjaan kita. Memang semua pilihan selalu ada dampak baik dan buruknya, sehingga kita perlu merenung apakah lebih memilih karir atau kedekatan dengan anak.

Minggu, 18 November 2018

Pendidikan Karakter Yang Utama Lebih Dulu


Suatu ketika saya terkejut dengan apa yang diucapkan oleh putri sulung saya.

“Ma, kenapa setelah kakak rajin shalat nilai-nilai ujiannya malah rendah. Kan Mama yang bilang kalau kita rajin shalat dan berdoa pada Allah, pasti akan dikabulkan. Padahal kakak selalu berdoa agar mendapatkan nilai yang tinggi biar bisa jadi juara kelas,” ucapnya cemberut. 




                   Buku Cerita Anak Saya Tentang Berdoa Terbitan Ana Muslim Malaysia

Deg! Rasanya bagai ditikam palu. Ternyata selama ini anak saya juga terpengaruh bahwa belajar yang rajin hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi saja. Saya pun berusaha sebijak mungkin untuk menjawabnya.

 “Kakak, kan Mama pernah cerita ada seseorang yang berdoa minta kaya, tapi dia malas bekerja. Apa mungkin dia bisa menjadi kaya seketika dengan hanya duduk diam?”

“Mana mungkin, Ma,” jawabnya sambil tertawa.

“Nah, begitu juga bila Kakak berdoa minta nilai tinggi, tapi belajarnya kurang sungguh-sungguh. Lagi pula untuk apa kita mengejar nilai tinggi semata tapi kita tidak paham dengan ilmu yang kita pelajari? Dan perlu Kakak ketahui bahwa menuntut ilmu itu sama dengan berjihad di jalan Allah yang akan mendapatkan pahala surga. Jadi, niat Kakak yang utama haruslah belajar untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Apalagi orang yang menuntut ilmu akan didoakan oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Jadi, Kakak belajarlah yang sungguh-sungguh agar banyak yang mendoakan kelak.”


Akhirnya putriku tak lagi cemberut dan mau mengerti bahwa selama ini niatnya salah dan harus diluruskan. Ia juga suka bercerita bahwa ada salah satu temannya yang suka menyontek saat ujian karena takut dimarahi orangtuanya bila tidak bisa mendapatkan juara kelas. Jika anak tersebut mendapatkan nilai rendah, tak segan-segan di depan orang banyak ibunya berkata kasar dan memarahinya. Benar-benar prihatin mendengarnya. Padahal sebenarnya pendidikan itu tak hanya bertujuan untuk mentransfer ilmu saja, tetapi juga untuk membentuk kepribadian peserta didik yang disebut juga sebagai penanaman akhlak. Ulasan Tentang Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak saya ulas di buku ini




Sudahkah para orangtua menyadari hal penting ini? Karena hanya mengejar nilai akademik yang tinggi, tak jarang banyak anak yang berlaku curang. Jika dibiarkan terusmenerus, bukan tak mungkin setelah anak menjadi pemimpin kelak, sikap curangnya itu membuatnya tak lagi takut untuk korupsi. Sebagaimana yang kita dapati tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Tak salah bila Prof. Dr. Ahmad Tafsir, MA, guru besar UIN, Bandung, mengatakan bahwa sekarang misi pendidikan kadang-kadang telah menyempit menjadi sekadar ahli dagang, ahli menghitung, ahli membius, ahli membedah, ahli membuat obat, ahli mengoperasikan komputer, bahkan hanya ahli mengelas. Kesimpulannya Bukan tidak boleh anak mengejar nilai yang tinggi demi mengasah ketekunan dan jiwa kompetisinya. Tapi bukan dibawah tekanan dan ambisi orangtuanya. Sebab keahlian-keahlian itu harus diakui memang diperlukan. Namun, mestinya yang paling utama adalah mendidik murid itu menjadi manusia lebih dahulu (Filsafat Pendidikan Islam, 2008).

Minggu, 11 November 2018

Pentingnya Peran Ayah Bagi Perkembangan Karakter Anak


“Urusan rumah tangga dan mengurus anak kan tugas para
ibu, kami ayahnya hanya bertugas mencari nafkah. Kalau kami
juga ikut mengurus pekerjaan rumah tangga, lantas siapa yang
mencari uang? Padahal tanpa uang mana bisa membeli keperluan
anak seperti susu dan keperluan rumah tangga lainnya.”

Mungkin kita sering mendengar para ayah berdalih seperti ini. Tanpa bermaksud menggurui, sebenarnya para ibu bukan melarang suaminya bekerja dan menyuruhnya menggantikan tugas di rumah. Hanya saja para ibu ingin para ayah juga ikut ambil bagian dalam membesarkan anak. Jangan sampai pekerjaan menyita seluruh waktu para ayah sehingga tak punya waktu untuk ikut mendampingi tumbuh kembang anaknya. Sejatinya, pengasuhan anak memang tugas para ibu, tetapi untuk penanaman nilai-nilai mutlak merupakan tugas dari para ayah.

Al-Qur’an pun mengabadikan Luqman al-Hakim sebagai sosok orangtua teladan yang mendidik anaknya berdasarkan prinsip tauhidullah dan akhlak yang mulia. Luqman sendiri bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali Allah SWT yang shaleh, berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan tidak banyak berbicara, tetapi bila berbicara ia pandai mengungkapkan kata-kata yang penuh hikmah. Oleh karena itu, dikenallah nasihat-nasihat Luqman pada anaknya yang diabadikan dalam Al-Qur’an.

Kita juga mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah sosok ayah teladan. Jadi, jelaslah bahwa tugas utama mendidik anak adalah tugas seorang ayah karena mereka adalah pemimpin keluarga yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Bila istri dan anaknya berbuat dosa dan kerusakan selama di dunia, maka ialah yang akan menanggung siksanya.

Namun, kondisi jam kerja yang tinggi pada saat ini telah membuat para ayah memiliki waktu yang sedikit untuk ikut terlibat dalam mendidik anak. Subuh, saat anak-anaknya masih tidur, mereka sudah berangkat kerja dan baru pulang larut malam, setelah anak-anaknya terlelap. Hal tersebut banyak terjadi di kota-kota besar. Seandainya bisa, para ibu ingin agar suaminya memangkas jam kerjanya sehingga bisa pulang lebih cepat. Namun apa daya, itulah fenomena kehidupan saat ini.Akan tetapi, jika ada kemauan dan rasa cinta, sebenarnya para ayah masih bisa ikut andil dalam mendidik anak, misalnya pada saat hari libur kerja. Di samping kesibukan para ayah, adanya krisis peran ini terjadi karena sejak dahulu memang sangat sedikit contoh figur ayah teladan di negeri Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ibu yang mengeluh dengan mengatakan, “Sebenarnya kami para ibu lebih capek karena bekerja sepanjang hari tanpa cuti, dibandingkan para suami yang masih diberi libur dari kantor.” Bahkan Majalah Ummi mengangkat masalah peran ayah di rumah dalam topik utama “Ayahku Guruku”. Ternyata banyak dari para suami yang belum mau terlibat aktif dalam proses pengasuhan dan pendidikan untuk mencerdaskan buah hati di rumah. Dikatakan, “Keterlibatan ayah di rumah (di luar urusan ekonomi) kian menipis. Mereka merasa telah menjadi ayah hanya dengan menjalankan peran sebagai pencari nafkah (apalagi sang ibu diam di rumah, tidak bekerja). Hal ini menjadikan anak-anak terbiasa tumbuh tanpa mereka.” Belum lagi para ayah yang lebih suka membawa pekerjaannya lengkap dengan stresnya ke rumah. Menjadikan para ayah menjadi pribadi yang cuek, tidak mau ambil porsi lebih besar dalam mendampingi anak-anaknya tumbuh.

Yang lebih tragisnya, para ibu sering memarahi anaknya sambil berkata, “Awas, Ibu bilangin ayah, tahu rasa kamu!” Seolah-olah para ayah zaman sekarang dijadikan alasan
untuk menakuti anak, bukan sebagai pendamping atau teman sejati. Padahal menurut Elly Risman, Psi., seorang psikolog, kehadiran ayah dalam mendampingi tumbuh kembang anak dapat membuat mereka merasa lebih berarti, selain membentuk pribadi yang tangguh dan penuh inisiatif. Walaupun banyak ayah seperti yang dipaparkan di atas, tetapi masih ada beberapa orang ayah yang care pada anaknya, terutama dalam hal mendidik anak. Kita bisa melihat contohnya dari seorang tokoh anak yang begitu dicintai seperti

Kak Seto, yang begitu peduli pada dunia perkembangan anak, dan seorang ayah sekaligus penulis buku yang kita kenal dengan sebutan Ayah Edy. Ayah Edy, yang juga seorang praktisi dan konsultan pendidikan anak, mengatakan, “Semua berawal dari keluarga. Ya, keluarga! Organisasi inti terkecil yang sering dilupakan banyak orang, termasuk yang membina keluarga itu sendiri.

” Kak Seto dan Ayah Edy adalah sedikit contoh ayah yang begitu peduli dan mencintai anaknya tanpa terganggu sama sekali dengan perannya sebagai pencari nafkah.



Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah SAW pun telah mencontohkan sikap terbaik dalam menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Beliau amat dekat dengan putrinya, Fatimah az-Zahra, hingga sering beliau mencium kening putrinya itu. Begitu pun Fatimah, ia tak pernah segan menumpahkan curahan hatinya kepada beliau. Kedekatan itu digambarkan dengan suatu julukan untuk Fatimah, yaitu Ummu Abiha (Ibu bagi ayahnya). Tak heran jika karakteristik Fatimah mirip sekali dengan Rasulullah SAW.

Ya, di dalam Al-Qur’an juga disebutkan adanya dialog antara anak dengan ayahnya, bukan dengan ibunya. Hal ini terlihat dalam dialog Nabi Ibrahim AS dengan putranya Ismail dan nasihat Luqman kepada anaknya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pendidikan Anak dalam Islam yang menyebutkan bahwa ayah memiliki peran yang sangat sentral dalam hal pembentukkan kepribadian seorang anak. Sebuah lagu ciptaan Bimbo pun menunjukkan kedekatan antara anak dan ayah, yaitu dari liriknya yang berbunyi:

"Ada anak bertanya pada bapaknya. "

Untuk menjadi ayah yang mampu mendidik dan membina anak-anaknya, tentu saja
dibutuhkan bekal yaitu ilmu, iman, dan takwa. Dengan begitu, tugas menjadi ayah tak lagi dirasa berat bila sudah memiliki ketiga hal pokok tersebut.

Dalam buku Tanya Jawab Seputar Masalah Perilaku Anak,
Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi., memberi beberapa trik
yang bisa dicoba untuk mendekatkan anak dengan ayah sejak
balita, yaitu:

1. Usahakan ayah hadir dalam aktivitas rutin anak sehingga
anak terbiasa dengan kehadiran ayah. Misalnya, sesekali
makan bersama di meja makan pada akhir pekan atau
sesekali ayah bisa ikut memandikan anak.


2. Ciptakan komunikasi rutin meski ayah tidak ada di rumah,
misalnya menelepon ke rumah pada saat jam istirahat
kantor, sekadar agar anak mendengar
suara ayah.

3. Luangkan waktu sepulang dari kantor untuk bermain
bersama anak. Biasanya anak laki-laki sangat menyukai
main kuda-kudaan, dengan ayah sebagai “kudanya”.
Jika sempat, luangkan pula untuk ritual ini di pagi hari sebelum
berangkat ke kantor. Selain bermain, kedekatan juga bisa terjalin dalam aktivitas lain, misalnya ayah membacakan buku cerita untuk anak.

4. Ayah juga perlu menjaga perasaan anak ketika sedang
berdua saja dengan anak. Kebanyakan ayah mungkin
merasa khawatir atau gelisah ketika berdua saja dengan
anak (takut anak ngompol dan sebagainya). Kegelisahan
ayah ini bisa tertangkap oleh anak sehingga membuat
anak merasa tidak nyaman.

5. Berikan kesempatan pada anak untuk ikut dalam aktivitas
rutin ayah, misalnya mencuci atau mengutak-atik motor meskipun ia hanya melihat saja. Saat itu ayah bisa mengajaknya bicara tentang apa yang sedang ayah lakukan.

Biarkan anak bertanya dan usahakan tidak terlalu banyak larangan agar anak menikmati kebersamaan dengan ayahnya. Lantas bagaimana dengan para single parent? Mampukah
mereka menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya? Sebagai contoh, Rasulullah SAW sejak kecil telah menjadi yatim piatu, yetapi beliau bisa tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan  penuh teladan.

Saya pun sejak kecil juga sudah menjadi yatim. Ibu saya juga bukan seorang yang hebat untuk bisa menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Namun, saya bisa merasakan jika Allah SWT telah turut campur dalam membesarkan saya hingga bisa tumbuh seperti sekarang ini. Mungkin juga dalam membesarkan kami, ibu saya meminta kekuatan dari AllahSWT melalui doa-doanya.