Mom Blogger Community

Mom Blogger Community
Member Of MBC

Minggu, 13 Oktober 2019

Rahim Bumi 1



Seperti biasa, mendung selalu menyapa warga tanah Pasundan, dengan naungan awan melankolisnya selalu menyapa ramah terutama saat petang. Tak terkecuali hutan mini yang selalu dikunjungi kaum pendatang dan warga sekitar. Hutan mini yang terletak di pusat Kota Bogor dan merupakan Kebun Raya tertua di Asia Tenggara ini, tak hanya menawarkan kecantikan alam tropis dengan beragam jenis Flora Nusantara, tetapi juga berjasa bagi paru-paru bumi Kota Hujan ini. Tempat dimana rahim bumiku melahirkan dan membesarkanku. Berbalikan dengan Bumi Pasundan yang lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.Diriku sendiri terlahir ketika Ambu (ibu) sedang dilanda kemurungan, hingga tak bisa mencegah lahirku yang lebih cepat dari usia normal. Prematur!

Masa Kecil Yang Tak Terlupakan

Pagi menyambutku dengan semburat kemerahan di atas langit. Matahari mulai muncul malu-malu enyambut hari. Aku dengan seragam merah putihku, berjalan cepat menuju sekolah. Melewati jalan sepanjang satu kilometer setelah enam bulan tak melewati jalan ini karena mogok sekolah. Dadaku menyimpan semangat dan harapan untuk berani kembali ke bangku sekolah demi Kak Asep dan Ambu. Meskipun aku lebih betah belajar di rumah. Andai bisa sekolah dari rumah, alangkah bahagianya. Tapi bagi Ambu, homescholling bukanlah hal yang banyak dilakukan orang di jaman nya. Mungkin suatu saat nanti, aku yang akan mendirikan home schoolling bagi anak-anak yang bermasalah dengan sekolah sepertiku. Kali ini, aku mencobanya lagi demi cita-citanya menjadi Dosen dan penulis.

Awalnya, kembali masuk sekolah serba menyenangkan. Melihat anak-anak berseragam merah putih berlari riang di taman. Suasana kelas terdengar riuh rendah oleh teman-teman baruku yang baik hati. Disampingku duduk Rena sahabatku, dengan kedua pita merah di rambutnya yang dikepang.  Mengeluarkan alat tulis untuk mata pelajaran hari ini. Tersembul senyum manis di bibir tipis Rena. Aku merasa, tak ada yang lebih menyenangkan selain menjadi murid sekolah lagi, setelah sebelumnya ogah disuruh balik ke sekolah lagi. Hatiku riang menyambut hari hari di sekolah yang baru beberapa hari ini. Semenjak kami pindah ke kota Medan, mengikuti saudara Abah yang memiliki usaha restoran.

            Lalu dengan cepat semuanya kembali berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Ketika guru berwajah sangar dengan suaranya yang menggelegar masuk ke ruangan kelas. Menatap murid satu persatu dengan matanya yang menyala. Dan mulai mengeluarkan suara perintah dengan keras.

            “Sekarang, keluarkan catatan kalian! Ibu akan mengajarkan mata pelajaran seni suara.”
            Dengan tergesa, para siswa baru termasuk diriku menjalankan perintah. Sibuk mengeluarkan buku dan pensil. Lalu dengan mata yang menatap lurus ke depan menyimak pelajaran. Menulis not balok di buku sesuai yang terlihat di papan tulis. Setelah itu mengikuti Bu Matondang, mengucapkan bunyi nada satu persatu. Tubuhku serasa kaku karena takut bergerak. Kedua tanganku terlipat ketat di atas meja. Keringat dingin mulai terasa membanjiri tubuh kecilku.

            “Ayo ulangi sekali lagi. Yang benar! teriak Bu Matondang lagi. Nyaliku semakin menciut. Apalagi saat bangku mulai di datangi satu persatu oleh Bu Matondang. 

            “Sekarang giliranmu. Ayo ikuti saya. Dooooo…..!!!!!
            Aku menjawab penuh gemetar hingga bunyi Do, terucap penuh getaran.
            “Yang kencang dong! pelan kali suaramu,” keluh Bu Matondang memasang wajah kesal.

Sia-sia, suara yang keluar dari bibirku tetap halus hingga nyaris tak terdengar. Tak sesuai dengan yang diinginkan guru seni suara yang masih berdiri di sampingku. Apalagi untuk menyamai suara gerejanya. Akhirnya tangannya yang lebar menggebrak meja cukup keras, hingga terdengar ke seluruh ruangan. Aku menunduk marah di dalam  hati, bukan sekolah dan guru seperti ini yang aku inginkan menuntunku mencari ilmu. Tanpa menunggu lagi, aku berlari ke luar kelas tanpa memperdulikan tas dan alat tulisku di dalam meja. Tak menoleh sedikitpun, meski Bu Matondang berteriak  marah.

 “Hei, mau kemana kau?” Aku terus berlari dengan bersimbah air mata menembus gerbang sekolah. Menuju rumah sederhana dan mungil di ujung jalan. Ambu yang melihatku sudah pulang sepagi ini, terpana.
            “Geulis. Ada apa? Mana tasmu sayang?” Tanya Ambu sambil mengelus rambut ikalku.

            Aku hanya duduk dipojokan rumah dengan isakan. Menangis dan terus menangis dengan wajah penuh ketakutan. Tak berani berterus terang pada Ambu tentang keresahanku. Setelah puas menitikkan air mata dari kedua mata cokelatku, kulontarkan semua amarah dan kesalku di pangkuan Ambu. 
         
“Lis gak mau sekolah lagi Ambu.,” Jawabku sambil memeluk erat paha Ambu.
            Ambu hanya diam. Tidak mengeluarkan amarahnya juga nasehat. Beliau sudah tahu jawabannya. Tangan keriputnya hanya terus mengusap punggung putri bungsunya.
            “Dinakalin teman temanmu lagi?”
            Aku menggeleng.
“Oh, Lis dimarahi guru lagi?”
            Aku mengangguk.
            “Pokoknya Lis tidak mau balik ke sekolah itu lagi Ambu. Kita balik aja lagi ke Bogor,” isakku.

            Ambu kembali diam terpekur. Dia tahu, hanya Asep, Akangnya yang bisa membujuknya. Selagi masih bisa keadaannya di perbaiki, ia bisa kembali ke sekolah yang baru beberapa hari ia jalani. Sebelumnya di sekolah yang lama, aku mogok sekolah, karena gurunya sedikit-sedikit suka memukul dan menghukum di depan kelas. Nyaliku kerap ciut dan dilanda cemas saat berangkat ke sekolah. Hal ini terlihat dengan seringnya aku mendadak sakit perut ketika disuruh berangkat. Sementara di sekolah yang berikutnya, ada seorang anak murid yang suka membully dan mengerjaiku. Kenakalan ala anak anak yang tak bisa ditolerir meskipun hanya dilakukan oleh anak anak. Apalagi pihak sekolah tidak mau perduli dan cuek. Harapanku dan Ambu moga sekolah yang ketiga ini lebih ramah dan nyaman untuk tempat belajar. Tapi nyatanya, kembali terjadi hal yang sama.
            “Ya sudah. Sekarang ganti baju dan ikut Ambu ke pajak (pasar dalam bahasa Medan). Kita beli buku cerita yang banyak di toko buku bekas, ya.”

            Aku langsung terbangun dengan penuh semangat lagi. Mendengar Ambu berkata tentang buku-buku cerita. Tanpa menunggu lagi, segera kuanggukkan kepala dan mengikuti Ambu naik becak ke pasar Hayat Medan. Duniaku kembali penuh warna, walau hatiku bimbang apakah Ambu mau memindahkan sekolahku lagi? Setelah dua kali aku pindah sekolah karena tidak cocok dengan guru dan teman-teman disekolahku. Bahkan aku ragu, apakah masih mau sekolah. Lebih nyaman di rumah bersama Ambu dan Kang Asep. Meskipun Abah, sosok hero yang kurindukan sudah meninggalkanku. Tak lama setelah kepindahan kami ke Medan.

Bagiku, tak ada yang lebih menarik selain buku. Kalau buku sudah berada di tangan mungilku, maka aku akan lupa segalanya. Bahkan sampai tertidur memeluk buku dengan erat dan mesra. Biasanya kalau sudah begitu, Kang asep yang baru pulang mengajar privat, akan menggendongku ke kamar sambil melepaskan buku di tanganku dengan perlahan. Kak Asep yang kini menjadi hero dalam hidupku setelah Abah. Kang Asep yang selalu memberikan kata kata nasehat dengan lembut di telingaku, setelah Ambu. Kang Asep yang akan segera berlari panik, bila mendengarku menangis. Entah karena terluka jatuh dari sepeda, atau karena mendengar amukan amarahku karena sesuatu hal. 

“Lis, mau Kang Asep anterin ke sekolah? Bujuknya sambil menatap adik semata wayangnya lekat. Aku menggelengkan kepala dengan kuat.
“Jangan cemas, nanti Kang Asep akan bicara sama gurunya biar Lis tidak digalakkin lagi,” rayu Akangnya sambil melebarkan senyum charmingnya.
“Lis bukan hanya cemas Kang, tapi juga malu karena sudah dibentak di hadapan semua teman sekelas,” jawabku dengan mata yang masih fokus di buku cerita kesukaanku.

“Akang janji, bila Lis masih dipermalukan dan dimarahi lagi, maka Lis boleh belajar di rumah saja sama Akang, “ bujuk Kang Asep lagi sambil melebarkan matanya yang bulat dan hitam pekat. Rambut ombaknya menyentuh jidat lebarnya dengan sempurna. Akhirnya aku mengangguk lemah tanda setuju. Aku  percaya pada janji Kang Asep yang tak pernah mengecewakanku. Meskipun terkadang sikap Kang Asep tegas dan tak bisa dibantah. Namun kelembutan dan kasih sayang serta kelucuannya yang suka menghibur membuat diriku tenang. Akh, andai guru di sekolahnya seperti Kang Asep, pasti aku betah belajar disekolah lama-lama. Nilai-nilaiku juga pasti tinggi terus. Bagaimanapun, waktu dikelas satu hingga kelas tiga, aku rangking pertama terus di kelas. Apalagi kalau sudah pelajaran mengarang. Bahkan kepiawaianku bercerita, membuat teman sekelasku betah berlama lama duduk dihadapannku. Mendengar rangkaian cerita yang aku karang sendiri. Atau aku ceritakan ulang dari buku yang pernah kubaca.

 “Terus, gimana ceritanya Lis? Ayo, cerita lagi Lis, kok udahan? Lanjutin lagi cerita yang kemarin atau ceritain lagi yang kemarin.” Begitulah selalu celoteh teman-teman kecilku. Walau kadang aku bosan harus mengulang cerita yang sama.

7 komentar:

  1. Wah seru ya kang Asep itu, rindu dulu nggak punya kakak laki yang siap membelakuh hiks

    BalasHapus
  2. Kang Asep sepertinya menjadi akang yang paling the best dah ya. Hehehe

    By the way, ada typo kak. Barangkali mau langsung diedit. Hehehehe

    BalasHapus
  3. Ini fiksi atau kisah nyata, mba'? Menariknyaa tokoh kang asep. Bisa jadi akang kesayangan pembaca nih 😊

    BalasHapus
  4. Memang ya, suasana sekolah yang nyaman akan menjadikan anak betah bersekolah. Untung masih mempunyai orang2 yang memahami dan menyayangi kita dengan tulus, seperti Ambu dan Kang Asep.

    BalasHapus
  5. wah kang asep bisa jadi idola nih..kakak yang siap jadi pelindung keluarganya

    BalasHapus
  6. Lingkungan sekolah yang nyaman dan guru yang baik, kreatif & inovatif bisa bikin anak semangat sekolah. Sebaliknya, jika lingkungan ngga kondusif dan/atau gurunya galak bikin anak gugup dan kesulitan belajar.

    BalasHapus
  7. Aku nggak punya kakak laki-laki. Baca ini jadi pengen punya akang ... Eh ... Sekarang udah punya ding ... Hi ..hi...

    BalasHapus