Mom Blogger Community

Mom Blogger Community
Member Of MBC

Senin, 14 Oktober 2019

Rahim Bumi 2



Aku berlari kecil di sepanjang jalan teladan. Hatiku bungah dan girang ingin segera sampai di sekolah. Kang Asep benar ,akhirnya guru yang pemarah itu diberhentikan dari sekolah, karena banyak orangtua murid yang mengadukannya. Diganti dengan guru yang baru. Namun yang membuatku kembali betah disekolah adalah Pak Masumi. Wali kelasku yang baru, karena wali kelas yang lama sudah pensiun. Guru baru yang tak pernah sekalipun mengumbar rasa marah. Apalagi sampai membentak murid. Guru yang bagiku memiliki sejuta kesabaran dan kasih sayang yang tulus dari hati, hingga terasa sampai di hatiku dan anak didik beliau. Di depan pintu gerbang aku bertemu Pak Masumi, guru idolaku dengan sepeda kumbangnya, Pak Masumi tersenyum kebapakan ke arahku. Senyum yang selalu  kurindukan dari sosok Ayah. 

“Wah, si kecil rajin sekali sudah sampai sekolah duluan,” Pak Masumi membelai pipiku.
Aku hanya menjawab dengan senyum malu-malu namun senang dan tersanjung. Lalu segera masuk kelas dengan semangat 45, sembari menatap punggung Pak Masumi memasuki kantor guru-guru. Suasana kelas masih lengang karena baru diriku yang datang. Sementara bel masuk sekolah masih 15 menit lagi. Sambil menunggu pelajaran dimulai, aku ambil pe-er karanganku,  dan kubaca lagi dengan cermat. Hmmmm...rasanya sudah tak sabar ingin segera membacakannya dihadapan teman teman dan Pak Masumi.

Tak terasa, bel sekolah berdentang nyaring di telinga. Satu persatu murid sekolah dasar negeri 19 berlari masuk ruangan. Bangku kelas empat pun mulai dipenuhi siswa, termasuk bangku di sebelahku. 

“Hai Rena, bagaimana pe er karanganmu? “
“Belum selesai, baru separuh. Rasanya aku tak berbakat mengarang seperti dirimu,” jawab Rena Manyun.
“Masak sih? Boleh aku liat ceritamu Rena?”
“Gak usah ah, aku malu,” tawa Rena.
Aku pun tak lagi memaksa Rena. Apalagi Pak Masumi sudah masuk kelas. Tanda pelajaran sebentar lagi akan di mulai.
“ Sepulang sekolah, aku boleh main ke rumahmu Lis?  Mau belajar bikin cerita,” Bisik Rena. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Tentu saja aku tak keberatan malah senang sekali. Apalagi Rena sahabat karibku dari  kelas satu hingga sekarang  ini. Rena pun tersenyum senang.
“Baiklah! Sekarang bapak akan memanggil satu persatu siswa untuk membacakan hasil karangan yang kemarin bapak suruh di depan kelas. Bapak mulai dari Geulis dulu.”
Penuh antusias, aku segera ke depan kelas.
 “Ayo dibacakan, bapak dan teman-temanmu sudah tidak sabar,” ucap Pak Masumi lagi sambil tersenyum ramah.
“Baik Pak,” jawabku mantap.

Tuhan.....Ijinkan aku bertanya. Mengapa kau ambil sosok Hero dalam hidupku? Padahal, aku butuh dia menjadi pahlawan dalam hidupku. Membantuku mengerjakan pe-er. Mendengar curhatanku, juga menghiburku di saat bersedih. Terutama saat aku melihat betapa mesranya hubungan mereka dengan ayahnya di luar sana. Yah, semua teman-temanku memiliki ayah dalam hidup mereka. Aku sangat iri  dan berkhayal kau  menggendongku Abah, kala kuterjatuh dan tertidur diatas kursi, saat membaca buku. Lalu membaringkanku di atas kasur dengan seulas kecupan sayangmu. 

Aku juga ingin bercerita banyak padamu Abah. Tentang sekolahku, teman-temanku yang lucu, juga tentang guru-guruku. Dan aku juga ingin membanggakan dirimu di hadapan semua orang bahwa kaulah Heroku. Pahlawanku yang hebat seperti Superman tokoh favoritku, yang bisa terbang dan melindungi semua orang. Yah, aku ingin kau menjadi pelindungku. Juga pelindung bagi Ambu. Oh Abah…Aku tak bisa marah padamu apalagi pada Tuhan, yang telah membawamu pergi begitu saja tanpa pernah kudengar salam perpisahan dari suara lembutmu juga belaian kasih mesramu. Aku ingin kau kembali, tapi itu tak mungkin, agar selalu ada yang melindungi diriku yang kecil ini. Amin.....

Hari terus berganti dengan cepat. Aku kembali bisa menikmati sekolahku. Hal yang belum pernah  kurasakan sebelumnya. Apalagi  Pak Masumi semakin perhatian padaku, hingga membuat iri teman teman sekelasku. Mungkin karena setiap pertanyaan yang diajukan Pak Masumi, aku selalu lebih dulu mengacungkan tangan dengan semangat empat lima untuk menjawab. Tak ada lagi rasa takut dihatiku. Selain itu, aku jarang mendapat nilai dibawah sembilan. Bahkan lebih banyak sepuluh hingga raportku mendapat point tertinggi. Terutama dalam pelajaran mengarang dan bahasa Indonesia. 

Kusadari, untuk bisa tumbuh, setiap pohon membutuhkan tanah sebagai rahimnya. Begitu juga denganku, yang terlahir dari rahim seorang Ambu yang lemah lembut namun rapuh. Terlebih dahulu saya perkenalkan siapa Ambu sebenarnya. Terlahir sebagai anak satu-satunya dari seorang ibu yang menikah lebih dari satu kali. Ambu hanya memiliki satu saudara laki-laki tapi dari lain ayah. Adapun saudara-saudara tiri Ambu yang lain meninggal sejak baru lahir. Yah, sebagaimana Ambu, Nini (nenek) juga terkenal cantik dan merupakan Mojang yang diperebutkan banyak Jajaka. 

Ambu sendiri tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dengan rambut hitam bergelombangnya nan lebat. Berkulit kuning langsat dan berhidung bangir dengan alis tebal dan mata yang hitam bulat indah. Perpaduan dari ibu Sunda dan ayah Ambu seorang Pakistan. Tentu banyak Jajaka yang tertarik mempersunting Ambu. Tak terkecuali tukang pengantar surat yang sering datang dan lewat di depan rumah Ambu. Namun Nini adalah wanita yang sedikit keras dan otoriter. Ia tak ingin Ambu menikah bukan dengan pria pilihannya sendiri. Ia pun tak pernah menerima setiap lamaran yang datang mempersunting Ambu. Ambu meskipun seorang anak yang penurut, tapi sesungguhnya jiwanya mudah memberontak sehingga menurun padaku. 

Suatu hari seorang pria paruh baya yang sudah memiliki 5 orang anak datang untuk melamar Ambu.
“Lilis belum mau menikah Ambu! Apalagi dengan pria yang sudah pernah memiliki banyak isteri.”
“Apa salahnya Neng? Toh isterinya sudah meninggal dan sebagian sudah diceraikan karena tidak cocok.”
“Mengapa Ambu begitu bernafsu menjodohkan Lis dengan pria yang usianya tak jauh beda dengan Ambu? Harusnya Ambu saja yang menikah dengannya!”
“Lilis! Ngomong apa kamu? Jangan kurang ajar! Kan pria tua itu sukanya ama kamu, bukan Ambu. Lagian, apalagi yang kamu tunggu? Sekolah tidak lagi dan umurmu juga semakin bertambah. Ambu yakin duda ini pria yang baik, karena bertahun-tahun Ambu sudah ikut bekerja di Saungnya.
“Ambu memang kejam! Dan tak pernah mau ngertiin Lis,” protes Ambu hingga mengurung diri di kamar selama berhari-hari. 

Ambu memang tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Selain alasan ekonomi, matanya yang sebelah kiri juga sering sakit hingga beberapa kali harus di operasi. Walaupun begitu, mata kanannya masih bisa melihat ketika ia ingin membaca. Apalagi Ambu senang membaca banyak buku meskipun hanya sekolah sampai tingkat SD. Kebiasaan yang akhirnya menurun padaku, yang seorang kutu buku. Hanya aktivitas menjahit saja yang terpaksa Ambu hentikan, karena matanya sudah tidak sekuat dulu lagi. Padahal banyak sudah hasil border jahitannya yang sudah jadi. 

3 komentar:

  1. Ini masih ada lanjutannya ya mbak? Aku penasaran euy pengen tahu lagi kelanjutannya Cerita ini. Ditunggu besok y mba

    BalasHapus
  2. wah seru nih cerbungnya.. aku jadi penasaran sama kelanjutannya.. dishare lewat grup wa IHB ya mbak.. penasaran euy sm neng geulis dan ambunya kumaha.. hihiii

    BalasHapus